DI DALAM HUTAN ENTAH DI MANA
ADA sesuatu yang
memanggil-manggil namanya, menyuruh ia untuk bangkit dan masuk ke dalam hutan.
Berupa suara angin. Menelisik dari luar, melewati jendela, kemudian sampai pada
telinga Jung Yuan.
Kata suara itu, jika ia ingin mengetahui segalanya, mengakhiri segala
kegelisahan dan kerinduan, Jung Yuan harus menemuinya di dalam hutan. Sendiri.
Suara itu terdengar begitu menghanyutkan, merasuk ke dalam hati,
membuat Jung Yuan bertanya-tanya siapakah pemilik suara tersebut.
Sambil menyeret tabung oksigennya, Jung Yuan mendekat ke arah jendela
besar, menyingkap tirainya yang berwarna gading. Dan ia baru sadar kalau
semenjak tadi malam jendela ini hanya tertutup oleh tirai, lupa dikunci karena
kehadiran sosok kelam yang sempat membuatnya ketakutan.
Sesuatu menarik perhatian Jung Yuan.
Terpisah oleh jarak seratus meter, di sela-sela pepo-honan pinus,
seseorang tengah berdiri menatap Jung Yuan. Itu bukan sosok yang sama seperti
tadi malam―atau barangkali begitu kira Jung Yuan? Sebab mata itu tidak berwarna
kelam, tidak pula memancarkan ancaman, tetapi berwarna emas yang penuh
kesedihan. Orang asing tersebut barangkali sebaya dengan Jung Yuan, lebih tua
tiga atau empat tahun mungkin. Rambut hitam legamnya bergerak-gerak tertiup
angin dan tatapan matanya terasa pilu. Jung Yuan lamat mengamatinya, lelaki itu
pasti tahu mengenai hal-hal janggal yang akhir-akhir ini terus menghantuinya.
Lagipula kalau tidak, mengapa ia ada di sana? Mengapa ia memiliki selubung aura
yang aneh?
Jemari kurus Jung Yuan perlahan menyentuh permukaan bingkai jendela.
Lelaki asing yang tadinya hanya memandangi Jung Yuan dengan tatapan sendu, kini
sedikit menarik ujung bibirnya, membentuk seringaian kecil. Mereka
berpandangan. Dan waktu seketika terhenti.
Citra-citra mendadak berdatangan lagi di kepala Jung Yuan.
Segalanya tergantikan oleh warna putih. Terlalu putih kalau boleh
dibilang. Tidak ada hijau, kuning, maupun ungu. Hanya putih. Lantai,
langit-langit, dan dindingnya bersatu dalam warna itu. Kemudian, bagai tamu
yang tak diundang, Jung Yuan telah berada di ujung jurang besar terbuat dari
bebatuan keras. Air laut di bawahnya berkecambuk menakutkan. Satu per satu
bebatuan yang diinjaknya mulai runtuh. Serpihan-serpihannya melayang jauh ke
bawah, menimpa lautan berbuih yang ganas. Jung Yuan sangat takut kalau
sewaktu-waktu ia akan jatuh, tapi tubuhnya serasa mati rasa. Ia tidak bisa
bergerak.
Dan saat Jung Yuan tahu bahwa dirinya benar-benar akan terhempas ke
runcingnya bebatuan, air laut di bawah mendadak berubah jadi merah. Saking
merahnya, Jung Yuan yakin bahwa itu adalah tumpahan darah. Ia menoleh ke
belakang, hatinya tersentak seketika. Jung Yuan melihat wajah seseorang di
sana. Pucat, penuh darah. Terlentang di atas tanah yang juga sama-sama
terkubangi oleh warna pekat merah.
Lantas seseorang datang, menjeritkan namanya. Menge-rang frustasi,
mengguncang-guncangkan tubuh sang sosok yang telah mati. Si lelaki terlihat
kacau. Tubuhnya dipenuhi oleh cipratan darah. Ia tersengguk, seolah tak percaya
melihat apa yang ada di depannya. Meratapi. Ia berteriak-teriak,
memanggil-manggil nama sang kekasih. Memprotes entah pada siapa. Memilukan.
Tanpa sadar, Jung Yuan yang berdiri di ambang jurang, menggigit bibir
bagian bawahnya. Asin. Berdarah. Ia melihat si lelaki yang bersimpuh di atas
tubuh mayat itu. Dadanya jadi ikut-ikutan sesak mendengar ratapan yang begitu
menyayat. Ia ingin mendekat pada si lelaki untuk mene-nangkannya. Mengatakan
bahwa segalanya baik-baik saja, bahwa perang ini akan segera usai dan kematian
sosok yang ada dalam rengkuhannya tidaklah percuma. Jung Yuan juga ingin
mengucapkan kata maaf pada rasa kehilangan yang dialami oleh si lelaki. Maaf
karena telah membuat kekasihnya mati begitu saja. Tanpa kecupan akhir. Tanpa
kata-kata perpisahan.
Jung Yuan tersadar kembali.
Pipinya terasa basah, tenggorokannya kering. Air mata mengalir tanpa
bisa ia bendung. Jung Yuan tahu pasti, bahwa kilasan tadi amatlah nyata.
Perasaan pilu itu dengan sadis hinggap di hatinya. Tapi yang Jung Yuan bingung,
perang apa yang ia maksud? Rasa bersalah apa yang membuat hatinya jadi begini
sedih? Kenapa ia seolah mengenali dua sosok itu?
Jung Yuan tidak mengerti.
Lama, ia hanya memandangi sang lelaki asing, hingga sosoknya pergi dan
menghilang di balik perdu pepohonan. Jung Yuan berpikir. Ah, kenapa aku tidak turun saja? Menemui
lelaki itu? Dengan begitu, bukankah ia jadi bisa leluasa bertanya padanya?
Perihal kebingungannya akan segala hal janggal yang terus menghantuinya?
Lagipula lelaki itu tidak terlihat mengancam sama sekali, benar bukan?
Barangkali ia akan menceritakan segalanya. Barangkali suara itu berasal
darinya.
Maka, Jung Yuan balik tubuh kurusnya. Ia melepaskan selang oksigen dari
hidung, membiasakan paru-parunya dengan udara sekitar beberapa saat, kemudian
mengenakan jaket dan sepatu. Ia menuruni anak tangga, keluar melewati pintu
samping rumah, dan mulai berjalan memasuki hutan.
Menjadi seorang yang katanya
berbeda, atau aneh lebih tepatnya, Jung Yuan jadi teringat satu temannya. Teman
yang semenjak kepindahannya ke kota ini, dengan
anehnya tidak pernah menghubungi Jung Yuan lagi. Sama sekali.
Padahal menurut Jung Yuan, dia itu adalah teman paling setia dan
menyenangkan yang pernah ada. Ah, siapa namanya? Bagaimana rupanya? Jung Yuan
tidak tahu. Ia tak pernah bisa mengingat nama atau rupanya. Pun ia tidak pernah
merasa perlu untuk mengetahui kedua hal itu. Yang jelas, mereka berdua adalah
sahabat baik.
Pada mulanya, Jung Yuan mencoba menceritakan hal ini pada ayah, ibu,
dan adiknya. Mereka awalnya terlihat kebingungan, namun setelah paham apa yang
dimaksud Jung Yuan, mereka mengatakan apa yang dilihat Jung Yuan hanyalah
imajinasi. Tak lebih dari sekadar buatan otak kanak-kanaknya belaka. Tapi Jung
Yuan menyanggah hal itu keras-keras.
Temannya itu nyata.
Mereka hanya tidak mampu melihatnya. Sama seperti kala mereka tidak
dapat melihat kuda putih, istana, atau makhluk-makhluk lain yang selalu memukau
Jung Yuan.
Seribu sayang, semenjak kecelakaan tujuh tahun silam, hampir semua
penglihatan tersebut sirna. Hanya menyisakan satu. Yang tak lain adalah
temannya itu. Pun kehadirannya juga tidak sesering dulu. Sangat jarang hingga
membuat Jung Yuan menjadi seorang yang pemurung dan lebih sering diam.
Kadangkala Jung Yuan berpikir, barangkali memang ada yang salah pada
dirinya. Barangkali ia memang berbeda dari anak sebayanya. Jung Yuan telah
berusaha sebaik mungkin untuk melihat dan memahami dari sudut pandang mereka.
Ia bahkan sempat berusaha tidak menghiraukan ‘teman imajinasinya’ itu,
menganggapnya tidak ada. Ia berupaya, mati-matian. Namun ketika semua usaha itu
tak bekerja, tak ada korelasi mana yang nyata dan mana yang hanya ilusi, Jung
Yuan memutuskan untuk berhenti melihat dari sudut pandang ‘orang-orang normal’. Ia kembali berbicara
pada temannya lagi. Tetapi kali ini secara sembunyi-sembunyi.
Sebab, memangnya mereka bisa
paham apa yang Jung Yuan mampu lihat?
Jung Yuan tak bisa membicarakan masalahnya ini pada kedua orangtuanya,
Zhongguo, apalagi orang lain. Kemurungannya ini membuat ia jadi malas untuk
berdebat dengan mereka. Karena setiap kali ia membicarakan perihal
penglihatan-penglihatan tersebut, mereka selalu saja menganggap itu sebagai
khayalan belaka. Dan urusan berbeda pendapat inilah yang sering membuat si
lelaki cantik jadi sungkan bercerita kembali. Ia yakin bahwa keputusannya untuk
tidak membicarakan soal ini adalah benar. Bukankah ada kalanya sesuatu tidak
harus kau ceritakan pada orang lain? Simpan di hatimu, dan segalanya akan jauh
lebih baik.
Berjam-jam Jung Yuan menghabiskan waktunya untuk mencari pencerahan,
terus berjalan menelusuri hutan sembari mengingat-ingat masa lalu. Jika ia bisa
menemukan lelaki itu, yang entah di mana, di dalam hutan, mungkin saja Jung
Yuan bisa mendapat penjelasan. Daripada memilih berdiam di rumah, tenggelam
dalam rasa ingin tahunya sendiri.
ζ
HUTAN, semakin lama semakin lebat. Cahaya matahari tiada yang mampu
menembus tebalnya gumpalan awan, pun kabut pegunungan yang mulai turun.
Hiruk-pikuk keliaran memenuhi langit-langit hutan. Ada yang berdengking,
berkicau, tetapi semua suara itu seolah memeringatkan Jung Yuan agar ia tidak
masuk lebih jauh lagi ke dalam hutan. Bising. Aneh. Tapi kepala Jung Yuan
serasa telah tersihir. Ia tidak peduli akan jeritan-jeritan makhluk itu. Ia
sudah berjalan hampir tiga jam. Menyusuri jalan setapak yang kadang ada, kadang
hilang di tengah hutan.
Tapi, di manakah lelaki itu?
Tanpa bisa Jung Yuan cegah, ia tidak bisa mematuhi
peringatan-peringatan para keliaran hutan. Ada sesuatu tak kasat mata yang
terus mendorongnya untuk memasuki hutan lebih jauh. Terlalu menghanyutkan untuk
ditolak. Jung Yuan benar-benar seperti tersihir.
Ia benar-benar serupa orang linglung, hanya seorang diri.
Jadi, ketika tetes demi tetes hujan mulai jatuh, Jung Yuan juga tidak
menghiraukannya. Ia cemas, tapi ia tidak peduli. Hujan membuatnya semakin
terperangkap dalam hutan. Seperti dalam lingkaran. Tanpa ia sadar.
Jung Yuan mendongak ke atas, mendung tebal membuat suasana hutan nampak
suram dan kelabu. Udara terasa dingin dan lembap. Tanah di bawah sepatunya
terlihat basah. Sembari merapatkan jaket, Jung Yuan terus melangkah memasuki
hutan yang menyeramkan. Pepohonan yang ia temui tumbuh lebih rapat. Jung Yuan
terus berjalan ke dalam, di antara pepohonan, berusaha mengacuhkan
peringatan-peringatan para keliaran hutan. Yang anehnya, dan entah bagaimana
kini telah berhenti seutuhnya. Tergantikan oleh senyap.
Sangat senyap.
Sunyi.
Tak ada seekor binatang pun yang berkelakar lagi.
Mendung makin menebal. Rintik semakin besar.
Langkah kakinya tak terasa membawa Jung Yuan menuju sisi lain hutan,
jauh yang tak pernah ia kira. Seperti digiring. Menuju sesuatu.
Jung Yuan memejamkan matanya, berusaha menenangkan tangan dan tubuhnya
yang mulai gemetaran. Gelap. Jung Yuan tiba-tiba mendengar sebuah jeritan.
Menyayat hati. Serupa lolongan.
Lolongan siapakah itu?
Mengapa lolongan itu terasa menyakitkan? Menyayat hati, merobek-robek
sampai tiada satu kebahagiaan pun yang tersisa? Apakah ini yang dinamakan
kepiluan murni? Seperti terlempar ke dalam jurang yang tanpa dasar? Kapankah
sampainya? Kapankah hilangnya? Apa maksud dari semua ini?
Ah, Jung Yuan tidak bisa membuka kedua matanya kembali. Seperti
ditahan, dipaksa untuk mengingat. Dipaksa untuk merasakan apa yang pemilik
suara lolongan itu rasakan. Tubuhnya kaku, diam.
Dalam gelap, seharusnya ia tidak dapat melihat apapun, dan hanya
mendengar lolongan yang panjang. Tapi ia tidak. Jung Yuan justru dihadiahi oleh
penglihatan-penglihatan mengerikan. Ia benar-benar dipaksa untuk menyaksikan
kengerian ini. Dalam mata tertutup yang seharusnya menampakkan gelap.
Ia tiba-tiba berada di tengah medan perang. Ia melihat tubuh-tubuh
bergelimpangan, mati. Darah menggenang di mana-mana. Bau anyir menyeruak. Suara
teriakan mem-bumbung.
Lolongan-lolongan menyayat hati terdengar semakin jelas. Ceceran darah
mengubang. Kepedihan mengepul. Tangan-tangan berpedang berayun-ayun.
CLASH!
Satu kepala tertebas. Menggelinding. Satu jantung tertusuk. Satu perut
terobek. Tanah sempurna menjadi lautan merah. Darah.
Suara-suara memilukan tertahan.
Jung Yuan terpaku. Tak bisa bergerak. Ta-kut.
Dan dari segala pemandangan itu, ada sesuatu yang membuat Jung Yuan
yakin bahwa sebagian kematian dari tubuh-tubuh itu adalah karena kesalahannya.
Menggerogoti kepala Jung Yuan. Membisikkan sesuatu. Sesuatu yang tak ingin Jung
Yuan dengar.
Kilasan-kilasan itu menghantui Jung Yuan. Ia membolak-balik, mengamati,
menerka setiap jengkal dari ingatannya. Berusaha mencari tahu apa yang telah ia
lakukan di masa lampau. Lupakah ia pada sesuatu? Ataukah... Jung Yuan pernah
hidup sebelum masa ini? Jika benar, apakah ada dimensi lain yang beriringan
dengan dimensinya kini? Jung Yuan tak bisa berhenti untuk bertanya-tanya. Semua
hal itu membuat otaknya jadi sesak.
Ia terus dihantui oleh penglihatan-penglihatan meng-erikan itu. Apakah
nyata atau tidak? Ia terus ada di sana. Kaku. Diam. Tak dapat memutar kepala
kiri dan kanan. Seberapa keras pun Jung Yuan mencoba, hingga kepalanya
berdenyut-denyut tak keruan, ia tak bisa menemukan apa-apa.
Apa yang salah dengannya? Apa semua ini benar-benar nyata? Ia menerka.
Ataukah ini hanya sesuatu yang sesung-guhnya adalah buatan otaknya belaka?
Kilasan. Wei Feng. Xiao Guan. Mata kelam. Teman. Rasa rindu. Ibu.
Semuanya bercampur menjadi satu. Teraduk. Membingungkan. Serupa mimpi,
penglihatan itu seperti tak nyata dalam kepalanya.
Mungkinkah semua ini benar kesalahannya? Tapi apa? Bagaimana bisa? Jung
Yuan benar-benar tidak mengerti. Pilu hatinya. Gemetar seluruh tubuhnya.
Dalam perasaan sedih dan takut yang teramat sangat, terdengar lagi
suara lolongan. Ah, tidak. Kali ini lolongan itu telah berubah menjadi geraman.
Geraman yang menakutkan, penuh ancaman, dan ingin membalas dendam.
Lantas matanya tiba-tiba dapat terbuka kembali.
Bukan hanya hutan. Bukan hanya kabut yang ada di hadapan. Ketakutannya
mendadak jadi berlipat-lipat ganda. Dadanya bergemeretupan. Seluruh tubuhnya
gemetar.
“S-siapa kau?”
Rupa yang muncul di hadapan Jung Yuan sangatlah mengerikan.
Semengerikan-mengerikannya seekor makhluk di bumi. Rupa iblis. Mata kelam.
Penuh dendam. Makhluk itu tidak membalas. Ia justru menggeram, mendekat dengan
keempat kakinya yang yang tertanam cakar tajam.
Jung Yuan takut. Ia tidak bisa bergerak. Bagaimana ini?
LARI!
Sebuah suara merasuk ke dalam kepala Jung Yuan. Entah milik siapa.
Entah dari mana asalnya.
Jung Yuan tidak mengerti, tapi ia tahu kalau suara itu benar adanya. Ia
harus lari. Secepat kilat, seumpama ia sama sekali tidak memiliki penyakit,
Jung Yuan berlari. Sangat kencang hingga ia tidak bisa merasakan lagi udara
dingin yang menyumsum. Tidak peduli pada kondisi paru-parunya. Tidak peduli
pada hujan yang tiba-tiba turun begitu deras. Tidak peduli pada sekitar. Jung
Yuan tidak peduli!
Yang saat ini ia pedulikan hanyalah menjauh dari makhluk menyeramkan
itu. Makhluk besar berbulu hitam dan bertaring kuat mengilat. Berotot. Kuat
meraksasa. Cengkeramannya laksana ragum seolah-olah dapat mematahkan manusia
dalam sekali coba.
M-e-n-g-e-r-i-k-a-n.
Jung Yuan menoleh ke belakang. Makhluk itu masih mengejarnya. Ah, bukan
lari. Di mata Jung Yuan, makhluk itu hanya berjalan normal, seolah mengejek
Jung Yuan yang berlari ketakutan. Seolah mengejek Jung Yuan bahwa berlari
secepat apapun tidak akan menyelamatkannya dari makhluk itu. Jung Yuan hanya
manusia. Sementara pemburunya adalah monster ganas. Iblis.
Namun Jung Yuan tetap tak menggubris ejekan itu. Meskipun kecil, masih
ada sedikit harapan yang tertinggal di hatinya. Ia berlari layaknya orang
kesetanan. Menembus apapun yang ada di hadapan. Sesekali terjatuh karena
tersandung tonjolan akar pohon besar. Mukanya pucat sedikit berdarah karena
tertampar oleh ranting-ranting pohon. Nahas, setelah berlari entah berapa lama,
barangkali rekor terlama sepanjang hidupnya, mengerahkan seluruh tenaga, kaki
Jung Yuan terperosok oleh batuan yang menyembul. Batu itu tajam. Melukai
kakinya. Jung Yuan kehilangan keseimbangan. Lantas tubuhnya terjatuh pada tanah
yang menurun. Berguling-guling. Sekali. Dua kali. Berkali-kali tubuhnya
menghantam dahan-dahan kayu. Tanah berkerikil. Jatuh semakin dalam.
Sangkut-menyangkut di semak belukar, jatuh lagi. Berdebum. Lantas kepalanya
meluncur pada sebuah batu besar. Menghantam.
Tapi Jung Yuan masih sadarkan diri.
Ia mengerang sebentar. Seluruh tubuhnya kotor. Dipenuhi ranting, tanah,
dan kerikil. Satu tangannya menyentuh dahi, berdarah. Pening mendatangi
kepalanya. Mendadak, ia kehilangan seluruh tenaga. Keringat deras mengucur.
Membasahi kaos, sampai pada seluruh tubuh. Jantungnya berkejaran. Napasnya
tersengal. Berat. Dan perlahan, ia tak mampu lagi mendengar suara-suara. Tidak
pada jeritan keliaran hutan, dan tidak pula pada napasnya sendiri.
Lari! Lari! Lari!
Suara itu panik menyuruh Jung Yuan. Ketakutan. Seumpama ia sendiri yang
merasakan. Menangis.
Tak ada waktu! Kau harus bangkit! Lari!
Jangan menyerah, kumohon!
Gemetar seluruh tubuh Jung Yuan. Ia berusaha tersadar kembali. Tertatih
ia bangkit. Susah payah ia menumpu seluruh beban tubuh. Sakit. Sepertinya
tulang mata kakinya bergeser. Ah, tapi tidak ada waktu! Jung Yuan harus
bangkit. Ia harus berlari.
Hujan deras terus membuncah di atas kepala. Guntur menggelegar. Tubuh
kurus itu kuyup. Basah. Kedinginan. Menggigil.
Jung Yuan menitikkan air mata, menahan rasa sakit yang teramat sangat.
Kakinya nyilu karena dipaksa terus untuk berlari. Dalam hati, ia
bertanya-tanya, apa arti semua ini? Apa yang ia cari? Rindu. Kosong. Pilu.
Bagaimana bisa semua rasa itu tercampur menjadi satu? Terus-menerus menohok
hati Jung Yuan? Air matanya mengalir. Jung Yuan tidak mengerti. Jung Yuan
tersengguk.
Ia terseok berjalan. Pasrah sudah pada segalanya. Pada sisa-sisa tenaga
yang hanya tinggal secuil. Menerobos perdu. Melewati batang pohon yang tumbang.
Entah berapa lama. Barangkali lima belas menit.
Jung Yuan mendengar suara raungan keras dan dalam ketika ia menyadari
ada sungai berbatu menghadang di depannya. Aliran airnya sangat deras. Membuat
siapapun yang nekat menyebrangi sungai itu tanpa pengaman akan hanyut seketika.
Bahkan bagi perenang handal sekalipun. Jung Yuan bingung. Peluang satu-satunya
hanyalah menye-berangi sungai itu. Dia harus berani kalau ingin selamat dari
ganasnya cengkeraman sang monster. Satu kesempatan untuk menyelamatkan
nyawanya. Namun, Jung Yuan ragu-ragu. Melewati sungai berarti ia harus hanyut
dan mungkin tenggelam kehilangan nyawa. Atau mundur dan mati tersobek-sobek
dalam cengkeraman sang monster.
Raungan yang memekakan telinga terdengar lagi di belakangnya. Dan
seketika itu juga, seolah mengamini takdir hidup Jung Yuan, paru-parunya yang
sedari tadi diam kini mulai bereaksi. Ia terduduk lemas di atas tanah.
Posisinya tersimpuh, dua tangan mencengkeram kuat di dada. Rasanya sesak
sekali. Padahal ia sedang berada di dalam hutan, oksigen sangat berlimpah di
sana. Namun, ia tahu, inilah akhirnya. Jung Yuan harusnya sudah menduga bahwa
ia tidak bisa lepas dari takdir kematian. Cepat atau lambat pasti nyawanya akan
melayang. Tenggelam atau tercabik.
Dia tidak mungkin lolos.
Jung Yuan berbalik, sang monster kini telah berada tiga meter di
hadapannya. Jung Yuan memandangi mata hitam gelap menyala itu. Mata yang seolah
menyimpan dendam ratusan tahun. Mata yang penuh kemarahan sekaligus pilu luar
biasa. Perasaan Jung Yuan jadi ikut sedih seperti tatapan makhluk menyeramkan
itu. Bayangan sang ayah, mendiang ibu, Zhongguo, kakek, dan neneknya
berkelebat. Saat itu juga ia seolah ingin meneriakkan kata maaf terakhir pada
mereka. Atas segala kerepotan yang selama ini telah ia timbulkan.
Penglihatan Jung Yuan mengabur, air mata sudah buncah ingin keluar dari
pelupuk mata. Kepalanya juga mulai pening dan sakit. Sepersekian detik setelah
itu, tubuhnya ambruk ke atas tanah.
Ia tahu, ini adalah akhirnya.
Monster itu makin mendekat ke arah Jung Yuan. Salah satu kaki sang
monster yang amat besar mencengkeram kuat pundak kanan Jung Yuan. Kuku-kukunya
yang tajam dan panjang membuat kulit Jung Yuan robek dan mengeluarkan darah.
Kalau saja penglihatan Jung Yuan tidak mengabur, ia mungkin akan sangat
ketakukan melihat rupa mahluk itu. Menggeram tepat berada di depan wajahnya.
Taring kuat mengilat seolah baru diasah, mata hitam pekat menyalak penuh
dendam, dan tubuh super besar penuh bulu lebat. Siapa pula yang tidak akan
merinding menyaksikan itu? Ah, namun dari kejauhan pun Jung Yuan sudah tahu
bagaimana mengerikannya rupa mahluk itu. Agaknya ia amat bersyukur karena
matanya berair, tidak perlu bertatap-tatapan secara langsung sedekat ini.
Namun, entah bagaimana tiba-tiba Jung Yuan merasakan cengkeraman mahluk
itu enyah dari pundaknya. Di tengah kesadarannya yang tinggal secuil,
samar-samar ia mendengar suara keretakan keras sekali. Seperti dua batang kayu
besar yang ditumbuk. Tidak hanya sekali, tapi beberapa kali. Tiap keretakan
selalu diiringi dengan suara raungan yang amat menyakitkan.
Perlahan, mata Jung Yuan mulai menutup, tapi secara bersamaan ia juga
merasakan ada seseorang yang meng-guncang-guncang tubuhnya lembut.