HILANG
KETIKA Zhongguo melihat ayahnya
turun dari lantai atas, menyiapkan sarapan dan obat, ia tahu kalau ada sesuatu
yang baru saja terjadi pada kakaknya. Sang ayah memang mengaku kalau kakaknya
tidak apa-apa dan meminta ia agar tidak khawatir, tapi Zhongguo tahu. Ia selalu
takut mendengar kabar semacam ini. Ia selalu ingat akan hari-hari di mana
kakaknya kambuh, ketika Jung Yuan mengerang kesakitan atau ketika ia tak
sadarkan diri seolah tak akan pernah bangun lagi keesokan harinya. Zhongguo
tahu. Dan ia selalu dapat menangkap gurat kecemasan yang tertanam di wajah
ayahnya walau beliau tak pernah lepas menyunggingkan senyum jaminan.
Zhongguo menyayangi Jung Yuan. Seluas alam raya, sepenuh hati, tak
kurang dari langit dan bumi dijadikan satu. Ia selalu protektif terhadap Jung
Yuan, dan sikap protektifnya itu bukanlah tanpa alasan.
Dalam ingatannya, dulu, ketika mereka masih kanak-kanak, sewaktu Jung
Yuan baru sepuluh dan Zhongguo sem-bilan, ia hampir saja membunuh gegenya
sendiri. Membu-nuh dalam artian sebenarnya.
Ia masih ingat ketika ia usil mengajak Jung Yuan untuk bersenang-senang
di sungai tepi hutan dekat rumah kakeknya, menarik-narik lengan sang kakak
untuk meniti jembatan kayu kecil reyot walau sejujurnya sudah berkali-kali
ditolak.
Zhongguo yang keras kepala, tidak menghiraukan seruan gegenya yang
melarang ia untuk menyebrangi jembatan tersebut. Ia tak peduli. Ia justru
bersenandung, makin senang hatinya. Ia melakukan itu seolah untuk menantang,
mem-buktikan bahwa dirinya adalah seorang anak yang pemberani.
Sayang, sesampainya di tengah jembatan, ketika Jung-kook secara acuh
terus-menerus menarik lengan sang kakak, tak sabar menyuruhnya untuk segera
menambah langkah, Jung Yuan terpeleset. Bocah cantik itu berseru kaget. Kakinya
kehilangan keseimbangan. Tubuhnya terjatuh dari atas jembatan.
Zhongguo yang melihat kejadian itu seketika berseru tertahan. “GEGE!”
Masalahnya bukan hanya tinggi jembatan itu yang hampir mencapai tiga
meter, air sungai di bawahnya juga deras, dipenuhi bebatuan pula. Dan kesanalah
tubuh mungil itu terhujam. Berdebum. Dan dalam gerakan lambat yang mengerikan,
kepala Jung Yuan menghantam bebatuan.
“GEGE! YUAN-GEGE!” Zhongguo pias.
Ia gemetar menuruni jembatan. Gemetar menuju tepian sungai. Zhongguo
benar-benar takut. Lihatlah, gegenya tersangkut di bebatuan besar, pingsan.
Kepalanya berdarah. Ia sungguh kalut. Ini semua salahnya. Tidak seharusnya ia
mengajak gegenya yang sakit-sakitan bermain di tepian hutan. Tidak seharusnya
ia memaksa Jung Yuan untuk meniti jembatan berbahaya itu.
“Gege... gege....” Zhongguo menangis. Bingung.
Bagaimanalah ia akan menyelamatkan kakaknya yang pingsan di tengah
sungai deras itu? Apa yang harus ia lakukan? Memanggil ayahnya dulu? Tapi
bagaimana kalau terlalu terlambat? Bagaimana kalau gegenya terlanjur kehilangan
nyawa? Apa yang akan ia katakan pada ayahnya nanti? Zhongguo ciut oleh perasaan
takut. Gentar seluruh hatinya.
“Dewa... Zhongguo mohon, Zhongguo mohon, jangan ambil nyawa gege...
biarkan Zhongguo saja yang menggantikannya... biarkan Zhongguo saja...”
Zhongguo kecil mencicit di tepi sungai, berdoa sambil tersedu. Dadanya
bergemeretupan, cemas bukan kepalang.
Lantas, bagai ada burung yang mengantarkan doa tulus itu, secepat
kilat, ayah dan kakeknya tiba-tiba muncul dari belakang. Tergopoh-gopoh mereka
menyebrangi sungai. Cemas. Kalut. Ayahnya meraih tubuh gegenya yang basah,
menggendongnya ke tepian sungai.
“Yuan, Yuan... sayang...”
Zhongguo melihat wajah pucat Jung Yuan. Kepalanya bocor, setengah
wajahnya memar. Pun tangan dan kakinya juga terluka. Cairan merah itu mengalir,
menodai baju ayahnya.
Wajah sang ayah pias. Sungguh pias. Dadanya berge-meretupan. Takut dan
marah bergumul jadi satu, bertaut, dan bertindih-tindih. Bergumul-gumul. Tapi
bukan! Ia bukan marah terhadap Zhongguo, melainkan diri sendiri. Tak becus
dalam mengawasi kedua anaknya. Ia sungguh menyesal. Matanya memanas, menangis,
dan kalap terus-terusan memanggil nama anaknya.
“Yuan.... Yuan, bangun sayang...”
Kakek Han yang melihat anaknya kalap tak bisa tenang, mengambil alih.
Ia berusaha untuk tidak gemetar memeriksa kepala Jung Yuan. Lukanya besar.
Robek. Beliau melepas kemeja luarannya, mengelap darah. Percuma. Darah terus
mengucur. Tapi ia pantang menyerah. Meski ketakutan mencengkeram jantungnya,
tapi kakek Han tetap berusaha. Ia memeluk tubuh Jung Yuan, menciumi pipi
cucunya, kemudian bangkit dan menggendong tubuh mungil itu dengan bebat kemeja
di kepala.
Di rumah sakit, semua orang menunggu cemas. Ibunya terus tersedu,
memeluk suaminya. Sementara Zhongguo? Ia hanya menangis dalam rengkuhan sang
kakek, berjam-jam. Tak mau berhenti. Merutuki diri. Meyakini bahwa gegenya akan
selamat. Hidup dan tertawa lagi esok harinya. Bercanda, saling menggelitiki,
melompat-lompat riang di atas kasur, atau saling berebut remot tivi.
Sungguh, Zhongguo ingat betapa gegenya terbaring tak berdaya di atas
ranjang, dibelit infus dan banyak selang. Sementara tulisan hijau pada mesin
medis terus berdengking, berkedip, dan naik-turun mengabarkan kondisi gegenya
yang tengah sekarat. Puluhan belalai peralatan medis menghujam ke tubuh kurus
dan lemah Jung Yuan, terlihat menyakitkan.
“Zhongguo-er,” Tuan Han yang sudah kembali lagi dari lantai atas,
membawa piring seperempat tandas dan gelas kosong, sekarang telah berdiri di
seberangnya. Zhongguo berkedip dua kali, mencoba fokus kembali. Oh, ternyata
dari tadi dia hanya mengaduk-aduk serealnya tanpa menyan-tapnya sedikitpun.
“Kau khawatir pada gegemu?”
“Um... ya...” Ia tersenyum getir, tertangkap basah. Merasa bersalah
karena memikirkan kesalahan masa lalu, kesalahan kanak-kanak yang sesungguhnya
sama sekali tidak dipermasalahkan oleh ayah maupun gegenya. Tapi, hati siapa
pula yang bisa tenang setelah hampir merenggut nyawa orang lain?
Ayahnya berjalan menuju tempat cucian, menaruh piring dan gelas bekas
gegenya di sana, lalu kembali lagi ke dekat Zhongguo.
“Ayah ada urusan di kota sebelah. Kau jaga rumah dan gegemu, ya?”
Ayahnya mengacak lembut rambut Zhongguo, tersenyum. “Jangan khawatir, dia
baik-baik saja.”
Dan begitulah, setelah memberikan jemari yang begitu tenang dan
menentramkan, ayahnya lantas pergi dan meng-hilang secepat embusan angin.
Zhongguo mendesah. Menghabiskan serealnya, meng-ambil satu buku di rak,
lalu melangkah keluar rumah dan duduk di beranda depan. Ia selalu melakukan ini
ketika hatinya sedang kalut. Tentang bagaimana otak liarnya suka berpikiran
yang macam-macam. Tentang bagaimana takutnya ia bila kehilangan Jung Yuan untuk
selama-lamanya. Bagi Zhongguo, Jung Yuan adalah sosok abadi yang bersemayam
dalam benaknya. Kapan pun ia merasa kosong dan sedih, tubuhnya akan selalu
surut pada Jung Yuan, mencari-cari ketenangan. Ia menikmati ketika dirinya
berada di pangkuan Jung Yuan sementara mulutnya berkisah panjang lebar. Dan
sambil mendengarkan curahan Zhongguo, Jung Yuan biasanya akan membelai lembut
kepala sang adik dengan gerakan yang tenang dan mendamaikan.
Zhongguo menyukai hal itu. Ia menyukai segala hal yang ada dalam diri
kakaknya. Tawa menyenangkan Jung Yuan, senyum hangat yang ia berikan, dan
segala penjelasan yang selalu membuat pikiran Zhongguo jernih kembali. Seolah,
gegenya itu memiliki kekuatan magis yang dapat menyem-buhkan luka hati
seseorang.
“Percayalah, gege akan selalu ada di sini, menemanimu.” Begitu Jung
Yuan selalu berkata.
Zhongguo memandang ke arah depan, pada jalanan sepi yang di kelilingi
oleh pinus-pinus raksasa. Ia tak membuka bukunya. Ia tiba-tiba teringat akan
rahasia masa kecil gegenya dulu. Sesuatu yang Jung Yuan simpan rapat-rapat
hingga kini.
Suatu hari, sewaktu mereka baru pulang sekolah, melewati sebuah taman,
Jung Yuan mendadak berhenti dan berseru kalau ia melihat seekor kuda putih.
Berdiri gagah dengan surai lembut dan terang bersinar. Katanya, kuda itu
seperti memanggil-manggil namanya, menyuruh Jung Yuan untuk mendekat dan
menaiki hewan itu. Zhongguo kecil yang tak melihat kuda yang dimaksud oleh Jung
Yuan tentu saja kebingungan. Matanya mencari-cari di seluruh penjuru taman,
kanan, kiri, tapi tak menemukan apa-apa.
Awalnya, Zhongguo hanya menganggap itu sebagai imajinasi dari gegenya
belaka. Ia tak berusaha mengorek informasi tentang kejadian di taman. Namun,
lama-kelamaan gegenya itu makin menjadi-jadi. Ia bahkan bilang pada Zhongguo
bahwa dirinya memiliki seorang teman baru. Teman yang bila ditanya siapa nama
atau bagaimana rupanya, Jung Yuan pasti akan menggeleng tidak tahu. Seolah,
gegenya itu baru saja terbangun dari mimpinya.
Dalam kasus yang lebih menyeramkan, Jung Yuan bahkan pernah hampir
mencelakai dirinya sendiri. Ia berkeliaran di bawah guyuran hujan selama
berjam-jam. Di tengah dingin bulan Desember yang menusuk kulit. Demi mencari
seorang teman imajinasi yang katanya sudah berhari-hari tidak kelihatan. Dan
karena itulah, ayah dan ibunya menjadi khawatir. Takut bahkan. Bukan takut akan
sikap aneh gegenya, melainkan takut jika hal itu dapat mencelakai diri Jung
Yuan.
Kadangkala bocah cantik itu bercerita bahwa ia baru saja melihat istana
yang begitu megah dan indah. Meraksasa di tengah hutan dengan air terjun,
taman, dan makhluk-makhluk mustahil di dalamnya. Jika ditanya apa yang sedang
ia pikirkan atau lihat, Jung Yuan kecil bisa menyerocos dengan cerita-cerita
yang tiada habisnya, memukau para pendengarnya. Ia juga bersikeras bahwa
cerita-cerita tersebut adalah nyata. Bukan khayalan. Bukan pula mimpi. Ia
merasa bahwa penglihatan itu seperti sengaja dikirimkan kepadanya, barangkali
dari dunia lain.
Dan akibat keanehan ini, kedua orangtua Jung Yuan akhirnya memutuskan
untuk membawa anak mereka ke seorang psikiater. Beruntung bocah cantik itu
tidak menolak, malah terlihat senang air mukanya. Di tempat konsultasi, Jung
Yuan ditanyai dengan berbagai macam pertanyaan yang menarik, dan percakapan itu
berlangsung begitu seru hingga Jung Yuan balik bertanya pada sang psikiater.
Semacam, bagaimana dengan dokter sendiri?
Apakah dokter juga memiliki cerita yang menarik? Apakah dokter dapat melihat
hal-hal yang bisa dilihatnya?
Ketika sesi konsultasi tersebut usai, sang psikiater menyatakan bahwa
tidak ada yang salah pada diri Jung Yuan. Justru sebaliknya, Jung Yuan itu
istimewa. Cerdas dan penuh imajinasi. Sang psikiater juga sempat menyalami dan
berte-rima kasih pada orangtua Jung Yuan karena telah membawa bocah itu ke
hadapannya. Ia bilang, mereka sangat beruntung bisa memiliki seorang anak
seperti Jung Yuan.
Namun, paska kecelakaan di sungai tepi hutan, Jung Yuan berubah menjadi
seorang yang bungkam. Ia menjadi lebih pendiam. Ia tak menceritakan kisah-kisah
memesona itu kembali. Berhenti. Seolah lupa atau barangkali ia menyadari bahwa
tak ada seorang pun di sekelilingnya yang dapat melihat apa yang bisa ia lihat.
Tetapi, dalam beberapa kesempatan, Zhongguo sekali-dua pernah melihat gegenya
berbicara sendiri. Seperti dulu. Mungkin dengan teman imajinasinya. Yang
berbeda adalah, kini ia melakukan itu secara sembunyi-sembunyi. Tak ingin ada
yang memer-gokinya.
Dan asal kau tahu, Jung Yuan itu sebenarnya adalah seorang yang jenius.
Otaknya cemerlang. Bisa mendapatkan nilai sempurna kalau ia mau. Namun sungguh,
urusan kejeniusan inilah yang justru membuat Jung Yuan menjadi seorang yang
berbeda. Seseorang yang memiliki pemikiran jauh lebih ke depan daripada anak
sebayanya. Hingga membuat ia seringkali merasa terpencil bila berada di
tengah-tengah keramaian. Asing. Makanya, semenjak menyadari hal itu, Jung Yuan
memutuskan untuk mati-matian berusaha menjadi seorang yang s-e-b-i-a-s-a
mungkin. Mendapatkan nilai rata-rata, tidak terlampau unggul dalam diskusi, dan
menjadi sesuatu yang tidak terlihat.
Tetapi tetap. Bagi Zhongguo, Jung Yuan-gege adalah seorang yang
istimewa. Dalam matanya, dia itu serupa pengendali hati. Karena suatu saat,
jika kau beruntung bertemu dengannya, ketika kalian saling bertatap untuk
pertama kalinya, kalian akan paham rasa itu. Waktu serasa akan berhenti. Seolah
ada cahaya keindahan yang menyemburat dari dalam diri Jung Yuan, menggetarkan
jantung. Hingga membuatmu bertekuk lutut dan berakhir jatuh hati padanya.
Zhongguo tersenyum pada kenangan itu. Ia dari tadi hanya duduk di kursi
panjang beranda rumah, tak melakukan apa-apa. Berpikir, mengingat-ingat masa
lalu. Kadangkala membaca buku yang ada di genggamannya kembali. Empat jam
barangkali. Hingga tak terasa waktu siang telah tiba.
Ia mendongak ke atas. Sama seperti kemarin, langit terlihat murung dan
kelabu. Gumpalan-gumpalan awan tak mau beranjak dari sana. Senang rupanya
membuat kota kecil ini mendung tak tertembus oleh cahaya matahari.
Zhongguo bangkit dari duduknya, masuk ke dalam rumah, lantas naik ke
lantai atas berniat untuk mengecek gegenya.
Namun, ketika ia membuka pintu kamar Jung Yuan, sepersekian detik
berikutnya, kamar itu terlihat kosong. Jung Yuan tidak ada di sana. Aneh.
Firasat buruk tiba-tiba mencengkeram jantungnya, begitu kuat. Seketika Zhongguo
mencari-cari sosok kakaknya di seluruh penjuru rumah. Pertama kamar mandi.
Tidak ada. Dapur. Tidak ada. Ruang tengah. Juga tidak ada. Zhongguo panik. Ia
tidak bisa menemukan kakaknya di mana-mana. Bahkan di luar rumah sekalipun.
Sosoknya tak terlihat. Kakak cantiknya itu telah menghilang. Entah kemana.
“Gege! Yuan-gege! Yuan-gege!” Zhongguo panik berteriak. Berseru ke sana
kemari. Sungguh, ini benar-benar mengingatkannya akan kejadian tujuh tahun
silam. Pada rasa takutnya akan kehilangan Jung Yuan.
“Gege!” jerit Zhongguo.
Ia memutar-mutar di perkebunan jeruk, menyusuri te-pian hutan, kembali
lagi ke dalam rumah. Tak ada sahutan.
“Yuan-gege!” panggil Zhongguo, mendadak pemuda tanggung itu merasa
sangat cemas. Tak ada sahutan. Ia merasa ada yang salah di sini. Telah ia
longok sudut-sudut rumah, dalam dan luar, bahkan hingga sungai tepian hutan
yang menjadi masa lalu buruknya. Tak terlihat sosok gege cantiknya itu.
Bergemerutupan hati Zhongguo. Mukanya pias, keringat mengucur. Dada
berdentum tak keruan. Ia kebingungan. Takut dan kecewa atas dirinya sendiri.
Matanya memanas, menahan tangis, gelegakkan amarah pada dadanya ber-gemuruh.
Zhongguo kira, semenjak pertama kali ia dilahirkan, kemudian dapat
berjalan dan berbicara pada Jung Yuan, se-menjak itu pula ia berpikir bahwa
dirinya diturunkan ke bumi untuk menjaga sang kakak.
Namun kini ia sadar, semua itu hanyalah omong kosong belaka.
Zhongguo bergegas kembali ke dalam rumah, berusaha tenang dan
menghubungi ayahnya. Saat masuk, hutan di belakangnya terlihat lebih suram.
Gumpalan awan makin menebal. Kabut pegunungan membuat warna hijau hutan menjadi
keabu-abuan. Dingin makin menyumsum.