RINDU
HARI-HARI selanjutnya terasa
menyebalkan bagi Jung Yuan. Ia sebenarnya ingin sekali melabrak Xiao Guan―
menanyakan ‘soal-soal aneh’ yang sempat tertunda, tetapi akhir-akhir ini lelaki
tinggi tersebut justru menghindar darinya. Seolah, ia tidak ingin mengulangi kejadian
‘salah’ di kebun jeruk tempo hari. Dan entah kebetulan atau memang telah
membuat kesepakatan, Wei Feng juga ikut-ikutan menghindar seperti Xiao Guan.
Ini konyol. Mereka saling membenci, tapi kompak sekali dalam membuat Jung Yuan
berkesal hati.
Dan virus sebal itu ternyata terus menguntit hingga ia bangun tidur
pagi ini.
Jung Yuan menyibak tirai jendela dan mendapati langit dalam keadaan
mendung. Sejauh mata memandang, awan hitam bergumpal di atas hamparan kebun
jeruk dan hutan, sementara udara terasa dingin dan sepi. Kalau saja saat ini
suasana hatinya sedang berbeda, dijamin, pemandangan indah awan bergumul itu
pastilah bisa menghibur hatinya sedikit. Tapi tidak. Meskipun sedap dipandang,
namun hatinya sedang kalut hari ini. Makanya ia cuma menatap nanar langit tanpa
sedikitpun mengapresiasi.
Si lelaki cantik ke luar dari kamar dan turun menuju dapur. Ayahnya
sudah ada di meja makan, membaca koran sambil minum kopi.
“Pagi,” sapanya. “Bagaimana perasaanmu?”
“Luar biasa,” jawab Jung Yuan bohong, menampakkan senyum.
Ia menyiapkan semangkuk sereal untuk sarapan. Saat ia menyuapkan sendok
pertamanya ke dalam mulut, Zhongguo terlihat berjalan menuruni anak tangga
sambil menguap lebar sekali. Rambutnya acak-acakan persis seperti sarang burung
yang baru kena topan. Ia duduk di sebelah Jung Yuan dan menjawab sapaan sang
ayah.
Selama makan, Tuan Han menurunkan koran dari wajahnya dan mengajak
kedua anaknya untuk mengobrol. Mereka berbincang mengenai sekolah, ekskul, dan
hal-hal umum lain yang biasa ditanyakan oleh para orangtua. Beliau memang
selalu begitu, tak pernah sekalipun menyia-nyiakan waktu bersama keluarga. Bila
ada masalah sedikit saja, pasti langsung dibicarakan. Dan terlepas dari usianya
yang telah menginjak empat puluh tahun, namun wajah Tuan Han itu masih
kelihatan muda sekali. Sangat tampan. Bahkan tak jarang, Jung Yuan dan Zhongguo
juga pernah memergoki ada satu-dua wanita yang berusaha mendekati ayah mereka,
mencoba mengambil hati Tuan Han untuk dijadikan pasangan. Yang lantas membuat
si dua bersaudara itu bakal sadis bin rese menggodai sang ayah dengan mengungkapkan
kalimat-kalimat yang memojokkan.
“Cie, yang masih berjiwa muda,” godaan jenis pertama.
“Cie, yang masih laris padahal udah tua,” godaan jenis kedua.
“Cie, yang masih tetap setia walaupun banyak yang menggoda,” godaan
sekaligus fakta jenis ketiga.
Dan ketiganya akan selalu tertawa di akhir lelucon itu.
Terpingkal-pingkal sampai tak bisa menahan air mata yang keluar. Bahkan selama
beberapa jam berikutnya. Selalu.
Namun, ada kalanya Jung Yuan merasa begitu asing berada di antara
keluarga ini. Secara harfiah, ia memang merupakan bagian dari keluarga Han.
Tapi dia selalu tidak yakin bahwa dirinya benar-benar merupakan bagian ‘asli’
dari keluarga ini. Bahkan sesekali, sempat pula terlintas pikiran konyol
mengenai sosoknya yang sama sekali tidak mirip dengan sosok sang ayah atau ibu.
Padahal adiknya, Zhongguo, bila disandingkan dengan mendiang ibu mereka,
wajahnya kelihatan mirip sekali. Begitupula bila disandingkan dengan sang ayah,
matanya sungguh kelihatan sama. Sementara Jung Yuan? Hanya satu kata: berbeda. Disamakan dari sisi manapun, sosoknya
benar-benar kelihatan sangat berbeda. Tidak terlihat mirip sama sekali. Konyol
memang, tapi begitulah kenyataannya. Ia merasa asing.
Tetapi, meski begitu, tak pernah sekalipun Jung Yuan berani menyuarakan
pikiran konyol itu pada mereka. Tentu saja tidak. Ayahnya pasti bakal marah
sekali kalau ia sampai bertanya mengenai hal semacam itu. Dan pada akhirnya,
setiap kali pikiran konyol itu datang dan menyangkut di kepala, Jung Yuan akan
lekas membuangnya jauh-jauh. Menetapkan hatinya bahwa itu adalah bagian
terbodoh dari otaknya. Lagipula, toh mereka berempat saling menyayangi. Tak
pernah sekalipun ayah dan ibunya memarahi apalagi membentak Jung Yuan. Baginya,
ini adalah keluarga yang sangat sempurna. Tanpa cela.
“Hari ini sepertinya bakal dingin,” ujar Tuan Han membuyarkan lamunan
Jung Yuan. “Jangan lupa untuk bawa jaket kalian ke sekolah nanti.”
Zhongguo dan Jung Yuan mengangguk. Mereka menghabiskan sereal,
memasukkan mangkuk ke dalam bak cuci piring, lalu mandi. Sepuluh menit kemudian
Jung Yuan sudah berpakaian, celana jins dan sweater hangat krem lengan panjang
berleher kura-kura. Tak lupa ia juga mengenakan jaket hijau pekat
kesayangannya.
Dalam perjalanan ke sekolah, Zhongguo memberitahu Jung Yuan bahwa hari
ini ia ada ekskul bola.
“Pastikan nanti gege menungguku dulu di dekat lapangan, jangan ke
mana-mana.”
Mendengar suruhan bernada tegas itu, si lelaki cantik tertawa.
“Rasa-rasanya kamu ini jauh lebih pantas menjadi seorang kakak
ketimbang aku.” Begitu jawabnya.
Saat tiba di sekolah, hujan turun rintik-rintik. Jung Yuan dan Zhongguo
menyelubungi kepala mereka dengan tudung jaket, lantas menerobos gerimis yang
tak sampai membuat mereka basah kuyup.
Di dalam, lorong dipenuhi dengan berbagai kegiatan. Para murid
mondar-mandir di dekat loker, mengobrol, tertawa. Sebagian kecil yang melihat
si dua bersaudara ramah menyapa. Jung Yuan tidak tahu nama mereka masing-masing
tapi ia tetap balas melambai dan tersenyum pada semuanya. Keduanya lantas
berbelok dan berjalan menuju tempat loker mereka berada untuk mengambil segala
yang dibutuhkan pagi itu.
Saat kembali ke lorong, Jung Yuan melihat Xiao Guan sedang bersandar di
dinding, di tengah sekelompok anak―salah duanya ia kenali sebagai Jing Mo dan
Su Yang. Mereka tengah mengobrol dan tertawa. Si lelaki cantik berhenti sekitar
lima meter dari kelompok berisik itu. Namun, Xiao Guan yang menyadari kehadiran
Jung Yuan di dekatnya, langsung menengadah. Kedua mata mereka saling terkunci
untuk beberapa saat sebelum Xiao Guan akhirnya menegakkan diri dan berjalan
menjauh menghindari Jung Yuan. Meninggalkan sisa kelompoknya dalam kebingungan.
Jung Yuan mengejar Xiao Guan, mengabaikan seruan Zhongguo yang
menanyakan mau ke manakah ia. Tetapi langkah si lelaki bertubuh tinggi itu
sangatlah cepat hingga hampir membuat dirinya terjatuh karena tertubruk oleh
kerumunan anak-anak sekolah. Dan ketika ia akhirnya berhasil menegakkan
posisinya kembali, mendongakkan kepala melewati lautan manusia, tubuh Xiao Guan
sudah tidak terlihat lagi. Tenggelam, tertelan para murid yang mondar-mandir di
sepanjang lorong.
Meninggalkan si lelaki cantik yang lagi-lagi hanya bisa mendesah karena
kecewa berat.
ζ
SETENGAH hari berikutnya lewat dengan penuh kebo-sanan. Jung Yuan sulit
memusatkan perhatian pada apa yang dikatakan guru. Apalagi sekarang ia tengah
berada di kelas bahasanya Guru Tombol Cokelat―Ah,
nama sebenarnya sih bukan itu, tapi Guru Yang. Namun karena ia memiliki tahi
lalat yang cukup besar di dagu sebelah kanan, makanya anak-anak suka memanggil
beliau dengan sebutan itu. Mirip butiran coklat di biskuit katanya. Ia adalah
lelaki tua yang sangat membosankan, selalu membicarakan hal-hal yang tidak
penting. Dan kalau boleh jujur, suara Guru Yang itu sengau, tidak jelas bila
menerangkan sesuatu.
Dan untuk pertama kalinya, Jung Yuan mulai merasa bahwa orang-orang
memang tengah berkonfrontasi untuk membuatnya kesal setengah mati. Padahal
sesungguhnya ketika pertama kali ia memutuskan untuk pindah, Jung Yuan berharap
semoga kepindahannya ini bakal menjadi sesuatu yang sangat berkesan. Tapi toh
yang ada malah sebaliknya.
Apakah mungkin, ini semua ada kaitannya dengan rahasia yang disimpan
oleh Wei Feng dan Xiao Guan? Pada perasaan asing yang selalu ia rasakan di
tengah keluarganya sendiri? Pada rasa rindu berat yang selalu menyeruak tiap
kali ia menatap ke dalam mata emas Wei Feng? Pada kejadian-kejadian janggal
yang terus ia alami hingga kini? Jung Yuan merasa bahwa memikirkan hal tersebut
tidak akan pernah ada ujungnya, selalu buntu di tengah jalan.
Ketika bel jam makan siang berbunyi, Jung Yuan buru-buru berjalan ke
kantin. Di sana, di meja tempat ia biasa duduk, si lelaki cantik hanya melihat
sosok Zhongguo, Shin Qing, Taiheng, Xiao Tian, dan Minghao. Tidak ada Xiao
Guan. Begitu pula ketika ia menyapukan matanya pada meja paling pojok. Di sana
hanya ada Min Qing, Jin Hun, dan Ming Rei, si lelaki bermata emas tidak ada.
Jung Yuan mencoba bertanya pada Zhongguo di mana keberadaan si lelaki
bertubuh tinggi, namun ia hanya membalas dengan kedikan bahu belaka. Padahal
Xiao Guan itu biasanya bakal menguntit ke manapun Jung Yuan pergi, tetapi kini
ia benar-benar tak nampak batang hidungnya. Ah,
kecuali di kelas Matematika sih. Tapi itupun duduknya jauh di pojok kanan
paling belakang, menghindari Jung Yuan yang duduk di pojok kiri paling depan.
Sengaja betul ia berpindah tempat duduk agar dirinya tak bertatap kontak
langsung dengan Jung Yuan.
Pun dengan Wei Feng. Ketika ia bertanya pada Xiao Tian soal keberadaan
Wei Feng, ia juga hanya mendapat balasan kedikan bahu tidak tahu. Ini
benar-benar sempurna. Mereka berdua benar-benar berkonfrontasi untuk membuat
Jung Yuan jengkel!
Si lelaki cantik mendesah. Ia gelisah memikirkan dua lelaki yang telah
membuatnya linglung setengah mati. Ia berharap, semoga keduanya akan segera
muncul dan membeberkan semua rahasia mereka. Dan jujur, di lubuk hatinya yang
paling dalam, Jung Yuan juga sebenarnya mati-matian ingin mengenyahkan rasa
penasaran itu jauh-jauh. Membuangnya ke tengah laut. Tapi itu tidak mungkin.
Terlalu mustahil.
Seusai pelajaran terakhir, Jung Yuan menepati janjinya untuk tak pergi
ke mana-mana. Ia patuh menunggu Zhongguo di deretan bangku penonton lapangan
sambil membaca artikel online dari
ponselnya―senang karena tak ada orang yang berani mengganggu.
Dua jam kemudian kakak-beradik itu pulang dari sekolah. Berkendara
seperti biasa. Dan menghabiskan sisa hari itu seperti biasa. Makan siang,
mandi, lantas menger-jakan PR.
Malamnya, meskipun hari itu adalah hari Jum’at, Jung Yuan masuk ke
kamar lebih awal. Sementara ayahnya yang melihat kemuraman di wajah sang anak,
berusaha merayunya agar jangan naik dulu ke lantai atas sehingga mereka bisa
nonton film bersama di ruang keluarga. Tetapi si lelaki cantik menolak, berkata
bahwa ia merasa lelah dan ingin pergi ke tempat tidur untuk membaca buku.
Tuan Han jelas khawatir. Tidak biasanya Jung Yuan berlaku seperti itu,
menolak ajakannya untuk menonton film bersama keluarga. Apalagi ini adalah film
karya sutradara kesayangannya. Ini aneh.
Sementara di sisi lain, Jung Yuan agaknya merasa bersalah karena telah
menjadi sumber kekhawatiran bagi ayahnya. Tetapi saat ini ia benar-benar sedang
tidak ingin melakukan apa-apa kecuali menyendiri di kamar.
Ketika ayahnya datang sekitar jam sebelas, Jung Yuan sedang duduk di
ambang jendela sambil membaca buku.
“Yuan, jangan duduk di situ. Berhentilah membaca, ini sudah malam.”
Katanya.
“Nanggung Yah, sebentar lagi.”
“Ayah kira kamu benar-benar sedang kelelahan, tapi jam segini malah
belum tidur. Ayah tahu kamu itu sudah besar dan tidak perlu diomeli lagi macam
anak kecil, tapi kamu juga tahu bagaimana kondisi tubuhmu sendiri.” Ia berhenti
sebentar, mengamati Jung Yuan lamat-lamat. “Apa kamu baik-baik saja, sayang?”
Ini sulit. Kadangkala Jung Yuan bingung sendiri bagai-mana harus
menghadapi sisi ayahnya yang satu ini. Tapi ia harus meyakinkan beliau bahwa
saat ini ia benar-benar dalam keadaan yang sangat
baik.
Jung Yuan mengangguk.
“Kamu sedang tidak ada masalah kan?”
Jung Yuan mengangguk lagi.
“Apa ada yang menganggumu di sekolah?”
Jung Yuan menggeleng.
“Kamu yakin?”
“Yah, sungguh, aku tidak apa-apa. Tidak ada yang mengangguku di
sekolah. Dan tidak ada pula satu masalah pun yang sedang mengganggu pikiranku.”
Jawab Jung Yuan meyakinkan.
Ayahnya mendesah pelan, lantas berkata, “Baiklah kalau kamu merasa
baik-baik saja. Tapi menurut Ayah, kamu harus bangkit dari situ dan tidur
sekarang juga.”
Namun, Jung Yuan tetap duduk di ambang jendela selama waktu yang entah
berapa lama. Hingga akhirnya, ia hampir tidak mampu lagi membuka kedua matanya.
Saat itu jam satu.
Jung Yuan baru saja akan pergi ke tempat tidur ketika tiba-tiba ia
melihat sebuah bayangan yang muncul dari pepohonan jeruk.
Meskipun di luar nyaris gelap, Jung Yuan sangat yakin bahwa itu adalah
sosok seorang manusia. Sosok tersebut berdiri membelakangi dirinya, memandang
lurus pada hamparan pepohonan jeruk. Selubung auranya begitu pekat dan
menakutkan. Selintas, Jung Yuan merasakan aura mirip Wei Feng yang melekat pada
sosok itu. Tapi bukan, ini sangatlah berbeda. Selubung auranya jauh lebih hitam
dan mengisyaratkan kegelapan. Jung Yuan menutup mulutnya dengan kedua tangan.
Kaget. Lantas turun dari ambang jendela dan menutup tirainya rapat-rapat.
Ia merasakan detak jantungnya berdegup sangat kencang. Tubuhnya
bergetar. Ia takut, tapi insting perta-manya adalah ingin mengetahui siapakah
sosok yang sedang berdiri di tengah malam buta begini. Maka, dengan hati yang
tak karuan, Jung Yuan memberanikan diri untuk menyibak sedikit tirai jendela
dan mendekatkan matanya di sela-sela sibakan itu.
Tetapi, anehnya, hanya pekat yang Jung Yuan lihat. Sosok itu telah
hilang dari dekat pepohonan jeruk. Dan sedetik kemudian, secercah cahaya
berkelebat. Hanya sedetik, namun cukup membuat Jung Yuan tersadar dan luar
biasa terkejut. Sosok itu ternyata sudah pindah ke sisi rumahnya. Berdiri tepat
di bawah jendela kamar Jung Yuan.
Sosok itu mendongak ke atas. Sungguh, matanya hitam pekat tanpa warna!
Tanpa putih, biru, hijau, ataupun emas!
Dan mata itu seakan menyeringai jahat pada Jung Yuan.
ζ
JUNG YUAN mundur selangkah, dua langkah, lantas tiga langkah. Saking
terkejutnya pada pemandangan mengerikan itu, ia hampir saja terjatuh karena
tersandung oleh sudut tempat tidur. Ia menurunkan telapak tangannya dari mulut,
lalu menelan ludah dalam-dalam. Pikirannya benar-benar kacau. Tadi itu
nyatakah? Atau sekadar halusinasi? Jung Yuan tidak bisa membedakan apakah itu
hanya khayalan yang muncul di tengah rasa kantuknya atau bukan. Tapi hatinya
cukup yakin bahwa sosok itu nyata. Mata kelam itu nyata.
Lama Jung Yuan hanya diam berdiri di situ, menatap nanar pada jendela
yang tertutup tirai rapat. Ia merasa, bukan hanya seringaian jahat matanya saja
yang menakutkan, namun ada sesuatu lain. Sesuatu mengerikan yang menyeruak dari
dalam diri sosok itu. Sebuah rasa. Nostalgia. Ah, tapi bukan. Bukan nostalgia
yang sering ia alami ketika berada di dekat Wei Feng, bukan rasa rindu.
Melainkan ketakutan dan rasa bersalah. Sangat dalam hingga menohok dada Jung
Yuan begitu keras. Serupa kutukan.
Jung Yuan mengerjapkan mata, sekali-dua kali, lantas menyadari bahwa
dirinya masih berdiri mematung dengan tangan yang mulai gemetar. Ia tak bisa
berpikir. Otaknya tidak menyuruh dia untuk kabur atau lari dari sana. Ia justru
merangsek ke atas tempat tidur dan menyelubungi seluruh tubuhnya dengan
selimut. Agak aneh memang, sebab ia merasa tak perlu untuk angkat kaki dari
kamar dan meminta pertolongan. Ia takut, tapi ia merasa aman pada saat yang
sama. Seolah, seseorang tengah melindunginya dari jarak jauh, entah di mana.
Menghiraukan kehadiran sosok kelam yang barangkali belum enyah, Jung
Yuan berusaha untuk tidur. Ia memaksa matanya untuk terlelap. Kadangkala sambil
menghitung domba, lain waktu memikirkan hal-hal yang dapat membuat matanya
lekas terpejam. Tak lama, kesadaran lelaki cantik itu mulai hilang, terdorong
jauh menembus kegelapan.
Dan malam itu, ia bertemu dengan seseorang.
ζ
SAAT membuka mata, Jung Yuan telah berganti tempat. Segalanya terasa
menyilaukan dan berbeda. Matanya terbuta-kan oleh cahaya yang sangat terang.
Amat benderang hingga ia harus menghadangnya dengan kedua tangan.
Dan ketika Jung Yuan merasa bahwa cahaya itu telah berangsur kadar
terangnya, setelah perlahan mampu mem-buka kedua mata, hatinya langsung
tersentak. Kaget sekaligus kagum. Mata beningnya tak menemukan langit-langit
kamar atau lemari pakaian, melainkan sebuah taman! Dan itu bukanlah sekadar
taman biasa, melainkan taman yang maha luas dan sangat indah!
Ia memandang sekeliling. Rumput hijau segar terpang-kas rapi di bawah
kaki telanjang Jung Yuan. Ratusan jenis bebungaan mekar di berbagai sudut,
merekah indah dengan kupu-kupu yang beterbangan di atasnya. Ribuan larik cahaya
matahari lembut menerobos pagi. Syahdu. Merdu.
Tetapi, bukan hamparan bunga dan kupu-kupu yang paling membuat hati
Jung Yuan takjub, melainkan pohon itu.
Pohon besar yang berdiri gagah tepat di tengah taman. Begitu besar
dengan lekukan-lekukan yang indah. Batangnya berwarna putih dan sangat mulus,
menjulang sempurna ke angkasa. Dahan-dahannya rimbun dan tumbuh simetris.
Dedaunannya lebat berwarna jingga kemerahan. Sama sekali tak ada goresan pada
batang pohon, ranting patah, ataupun daun layu. Begitu sempurna dan meneduhkan.
Pun di dasar pohon itu, ada sebuah jalan setapak yang terbuat dari pualam
berwarna gading. Menjuntang panjang serupa karpet penyambut tamu agung, lantas
berakhir pada sebuah gerbang besi tempa raksasa yang melengkung, hampir seluruh
jengkal besinya terlilit oleh tanaman sulur.
Jung Yuan mendekat pada sang pohon agung, hatinya begitu terkesima. Ia
ingin menyentuhnya, merasakan tiap lekukan dan celah pohon itu. Namun, saat
tangannya hampir menyentuh batang pohon itu, ada angin yang bertiup. Bukan
angin kecemasan, bukan pula angin ancaman. Angin tersebut justru membawa
kehangatan yang syahdu, menghantarkan aroma yang begitu dikenalnya, dari
seseorang, begitu lembut, ringan, dan kehangatannya menyeruak dalam dada Jung
Yuan.
Lantas, datanglah sosok-sosok itu.
Mereka bertujuh. Berjalan di atas setapak pualam dengan langkah yang
begitu anggun. Seolah terbang atau mengambang. Jubah putih panjang mereka
melambai-lambai tertiup angin magis. Cahaya terang sekaligus menenangkan
menyeruak dari balik tubuh-tubuh malaikat itu.
Seorang lelaki cantik, penuh karisma dan daya tarik, menyita perhatian
Jung Yuan. Perutnya agak membesar. Mengandung, Jung Yuan menduga. Mungkin ia
seorang pemimpin. Sang lelaki memiliki wajah yang benderang bersinar. Begitu
cantik. Serupa malaikat. Mengenakan jubah terindah yang pernah Jung Yuan lihat,
paling terang di antara jubah-jubah terang lainnya. Sementara untaian aster
jadi mahkota. Senyum lembut menghaturkan kehangatan. Sangat indah dan sakral.
Dan semenjak kedatangan ketujuh sosok itu, alam seolah tunduk. Angin
berdesir lebih lembut, kupu-kupu hinggap di atas bebungaan seolah berlutut,
nyanyian makin syahdu. Dan Jung Yuan hanya berdiri, ikut tunduk pada kedatangan
mereka, pada lelaki bermahkota aster.
Tidak lama, si lelaki anggun melanjutkan perjalanannya sendiri
mendekati sang pohon agung. Para pengantarnya berhenti sekitar lima meter dari
pohon itu, menunggu. Dan meski sedang mengandung, langkah kakinya tak terlihat
tersaruk atau kesusahan. Masih anggun di balik jubahnya yang bersinar.
Jung Yuan memerhatikan sosok sang lelaki bersimpuh di bawah pohon
agung. Tangan tertelungkup di atas paha, mata terpejam. Ia menyalurkan energi
positif ke seluruh penjuru taman, mungkin pula hingga bermil-mil jauhnya ke
luar, membuat tanah-udara makin bersinar, bercahaya, dan tenang.
“Jangan khawatir, anakku....”
Tubuh Jung Yuan seketika bergetar, ia terkejut. Suara itu masih
terdengar sama, masih mendayu seperti lagu pengantar tidur terindah yang pernah
ia dengar.
“Kasih Ibu seperti sungai yang tak
berujung, tak berbatas menampung segala deras air. Tahukah kau, kalau Mama
selalu ada di hatimu? Menjagamu sepenuh hati? Dari segala keburukan yang
makhluk-makhluk jahat itu lakukan? Percayalah, Mama menyayangimu, sayang.
Begitupula dengan Babamu, selalu....”
Hati Jung Yuan luruh bersama suara mendayu itu. Meremasnya penuh
kerinduan. Air mata merembes dari ujung kelopaknya. Perlahan, tangis tanpa
suara, tanpa sengguk, tanpa jeda.
“Menangislah sayang. Karena setiap
tetesnya membasuh luka di hati kita. Tak perlu ditahan. Menangislah kalau kau
merindukan Mama, menangislah kalau kau merasa ingin menyerah dari beban yang
sebentar lagi datang. Karena menangis dapat menjadi obat bagi sesak di dada.
Karena Mama akan selalu ada di sini, di hati Jung Yuan....”
Seembusan angin menyentuh pipi Jung Yuan, merasuk ke dalam hati,
menyeruakkan kehangatan. Menjamin segala kedamaian. Lalu, wajah lelaki indah
itu tiba-tiba menoleh pada Jung Yuan, perlahan, menampakkan senyum paling
menenangkan yang pernah ada. Mereka bertatapan. Terjaga dalam kerinduan.
“Mama merindukanmu...”
“...Yuan...”
“Yuan, sayang?” Tuan Han berusaha memanggil-manggil nama anaknya yang
menangis dalam tidur. Matanya bergantian mengamati wajah sendu Jung Yuan dan
tangan yang mulai gemetaran. Jelas sekali ia khawatir.
“Sayang? Sayang? Yuan, ada apa?” ia duduk di sisi Jung Yuan, menyentuh
lembut kulit pipinya. “Apa yang sakit?”
Sentuhan itu berhasil membangunkan Jung Yuan, tapi tak ada jawaban.
“Mana yang sakit, sayang?” Tuan Han sebenarnya panik, namun berusaha
untuk tidak menampakkan.
Dua tangan Jung Yuan bergerak meremas dada. Ia terlihat kesakitan,
kesusahan bernapas, dan tersengal-sengal. Ia membuka mulut, berniat untuk
mengatakan sesuatu, namun hanya sengalan yang keluar. Bibirnya terasa dingin
dan bergetar. Samar-samar, ia melihat tangan ayahnya menjangkau sesuatu di sisi
tempat tidur. Lalu ada sensasi sejuk yang tiba-tiba menyeruak di bawah hidung
Jung Yuan, ia menduga bahwa itu adalah selang oksigen.
Bukannya membaik, rasa sakit pada dada Jung Yuan justru makin memburuk.
Ia menenggelamkan kukunya makin dalam. Ia tersedu, dan ia baru sadar kalau
dirinya tengah menangis.
Tuan Han membenarkan posisi selang itu ke belakang telinga Jung Yuan.
“Sayang, dengar, detak jantungmu sangat tinggi dan kadar oksigenmu tiba-tiba
merendah,” ia berhenti sebentar, melembutkan suaranya. “Sekarang, tenangkan
dirimu dan tarik napas dalam-dalam.”
Jung Yuan tidak begitu mengerti apa yang sedang terjadi, tapi ia tahu
kalau ia harus menuruti kalimat ayahnya. Ia berusaha untuk tenang, kemudian
mengambil napas dalam-dalam lewat hidung. Ia melakukan itu beberapa kali lagi
hingga akhirnya merasa normal kembali.
“Masih sakit?” tanya Tuan Han beberapa menit kemudian.
Jung Yuan hanya menggelengkan kepalanya lemah, lalu memeluk tubuh sang
ayah erat-erat. “Maaf.”
“Hmm, untuk?” Tuan Han menyambut pelukan itu, membenarkan posisi sang
anak di atas pangkuannya. Satu tangan ia gunakan untuk mengelus lembut puncak
kepala Jung Yuan. “Jangan meminta maaf, ini bukan salahmu.”
“Kalau rasa sakitnya datang lagi, langsung bilang, oke? Atau... apa
perlu kita ke rumah sakit?”
Jung Yuan menggelengkan kepalanya lagi, menggu-mamkan kata “tidak
perlu” dalam rengkuhan ayahnya. Mereka bertahan dalam posisi itu untuk beberapa
lama hingga Tuan Han bangkit dan turun ke dapur mengambil sarapan dan obat
untuk Jung Yuan.
Sekeluarnya sang ayah dari kamar, Jung Yuan mendadak ingin menangis
lagi, tersengguk hingga tak ada air mata yang tersisa. Ada kerinduan yang
hinggap di hatinya. Ia ingin menceritakan segalanya pada sang ayah, tetapi ia
merasa tak mampu untuk menyampaikan mimpi itu kepadanya. Ia sungguh bingung.
Jung Yuan telah menghabiskan seluruh hidupnya bersama mereka. Tentu ayahnya
akan sangat kecewa jika ia tiba-tiba meragukan perihal posisinya dalam keluarga
ini. Terlebih lagi, mereka tak pernah memerlakukan Jung Yuan secara
semena-mena. Mereka menyayangi Jung Yuan, sepenuh hati.
Apa yang harus aku lakukan? Jung
Yuan mengira-ngira dalam hati. Apakah ia harus mendorong Wei Feng dan Xiao Guan
untuk mengungkapkan segalanya? Tapi, bagaimana kalau mereka menolak untuk
menjelaskan, walau sudah bersikeras dipaksa? Sebenarnya apa yang mereka
sembu-nyikan? Siapa sosok kelam yang tadi malam mendatanginya? Dan siapa pula
sosok indah yang dua kali ini telah berkunjung ke dalam mimpinya? Ataukah...
sosok lelaki anggun itu sesungguhnya orangtua Jung Yuan yang asli?
Barangkali.
Bagi Jung Yuan, pertanyaan terakhirlah yang paling ingin ia ketahui.
Sosok indah itu telah mengganggu hatinya, menyeruakkan rasa rindu yang tak
terelakkan. Ia ingin menemuinya, melepas kerinduan secara nyata. Namun ia tak
tahu bagaimana caranya. Jung Yuan ingin merengkuh sosok itu.
Ia rindu.