NOSTALGIA
“...Yuan...” ada yang
memanggilnya. “Jung Yuan...”
Perlahan, Jung Yuan membuka kedua matanya. Berat sekali.
“Jung Yuan-gege, bangun,” si pemanggil lembut mengguncang kedua
bahunya.
Ketika matanya telah sempurna terbuka, ia sadar bahwa kini ia tengah
berada di dalam mobil ayahnya. Tengkuknya terasa pegal karena tertidur dalam
posisi terduduk selama perjalanan.
“Yuan-gege, bangun. Kita sudah sampai,” oh itu Zhongguo, adiknya.
Mobil itu akhirnya sampai di depan rumah kayu bercat putih. Tiga orang
di dalamnya keluar. Satu pria setengah umur dan dua remaja lelaki. Ketika kaki
si remaja berambut hitam setengkuk menapak di atas tanah, ia menghirup
dalam-dalam udara di sana. Ah, segar sekali. Ini adalah kali pertamanya setelah
serasa seratus tahun ia bisa merasakan suasana pegunungan kembali. Ia sudah
mendambakan ini sejak lama. Apalagi letak rumah itu yang berada di tepi hutan,
jauh dari keramaian. Jung Yuan senang sekali. Ia akan tinggal di sini mulai
sekarang.
“Yuan, pakai jaketmu, udaranya dingin di sini.” Jung Yuan menoleh ke
arah ayahnya, lantas mengambil jaket tebal yang berada di jok mobil belakang.
“Dan Zhongguo,” mata si ayah mengarah pada remaja satunya lagi. “Bantu
ayah mengangkati tas-tas ini! Hampir gelap.”
Si remaja yang bernama Zhongguo mencebikkan bibir enggan.
Mendengar ekspresi kesal sang adik, Jung Yuan tersenyum. “Sini, biar
gege bantu.”
Bukannya senang atas tawaran itu, Zhongguo malah cepat-cepat mengambil
dua tas besar yang ada di bagasi. “Tidah usah. Biar aku saja yang membawa dua
tas besar ini ke dalam rumah.”
“Eh, tapi itu kan berat.” Jung Yuan mendekati Zhongguo, namun si remaja
yang lebih muda itu mengelak dan segera berlari ke dalam rumah menyusul
ayahnya.
Jung Yuan berdecak kesal. Adiknya itu terlalu berlebihan. Membantu
sedikitpun tidak boleh. Katanya takut kelelahan lah. Takut nanti penyakitnya
kambuh lah. Takut inilah. Takut itulah. Padahal hanya tas sebesar itu? Toh saat
ini dirinya merasa sangat sehat. Apalagi setelah pindah ke daerah asri begini.
Makin bugar rasanya.
Jung Yuan mengambil sisa dua tas ransel ukuran sedang miliknya dan
Zhongguo, kemudian melangkahkan kaki ke dalam rumah. Cukup besar dan rapi. Ini
adalah rumah peninggalan kakek dan neneknya dari pihak ayah. Sang nenek sudah
meninggal lama, sementara sang kakek baru meninggal tiga bulan yang lalu.
Beliau mewariskan rumah ini beserta perkebunan jeruk miliknya ke ayah Jung
Yuan.
Jung Yuan menaiki tangga ke lantai atas. Kamarnya bersebelahan dengan
kamar Zhongguo di lantai dua, semen-tara kamar ayahnya berada di bawah. Jung
Yuan lantas ber-benah sedikit, memasukkan pakaian ke dalam lemari barunya. Ia
sangat menyukai pemandangan dari jendela kamarnya. Dari situ ia bisa melihat
perkebunan jeruk yang tertata asri, semua tinggi pohonnya terlihat sama.
Terpangkas sangat rapi. Namun, meskipun dekat dengan perkebunan jeruk, rumah
tersebut seakan-akan berada di ujung dunia. Tidak ada rumah lain di sebelahnya.
Satu bulan lalu, ketika Jung Yuan mendengar permintaan sang ayah untuk
pindah ke sini, ia langsung mengiyakan. Sudah lama sekali ia kangen berat
dengan suasana perkebunan milik kakek. Ia ingat, dulu ketika kecil, Jung Yuan
dan adiknya suka sekali bermain di bawah pepohonan jeruk yang sedang
ranum-ranumnya berbuah. Kadang berlarian main petak umpet, kadang membantu para
petani yang tengah memetik jeruk matang ke dalam keranjang. Tapi itu hanya
setahun sekali mereka bisa berkunjung ke rumah sang kakek. Jaraknya yang jauh
membuat sang kakek tidak menuntut kunjungan yang terlalu sering. Apalagi
keadaan ibu Jung Yuan yang waktu itu masih hidup dan menderita sinus akut. Bila
dingin sedikit, pasti langsung kambuh penyakitnya. Makanya setelah menikahi ibu
Jung Yuan, sang ayah mengalah untuk tinggal di tempat kelahiran ibunya,
ibukota.
Dan sama seperti ibunya, Jung Yuan juga tidak sesehat Zhongguo maupun
ayahnya. Ia memiliki tubuh yang lemah dan masalah pernapasan semenjak kecil.
Dan kalau sampai paru-parunya kambuh, maka Jung Yuan terpaksa harus memakai nasal cannula. Alat bantu pernapasan berupa
selang yang terhubung ke tabung oksigen kecil. Padahal Jung Yuan amat sangat
membenci ketika ia harus bergantung pada alat tersebut. Sebab itu sangat
merepotkan, kemana-mana ia harus ribut menyeret tabung gas oksigennya itu.
KEESOKAN harinya, Jung Yuan dan Zhongguo berangkat ke sekolah baru
mereka. Menaiki truk merah kusam pening-galan sang kakek. Agak nyentrik
sebenarnya, padahal di rumah ada satu mobil lagi yang penampilannya jauh lebih
bagus. Namun karena selera Zhongguo yang nyeleneh, makanya ia lebih memilih
truk antik itu. Katanya biar asik kalau nanti ia bisa jalan-jalan dan duduk
bersama teman-teman barunya di bak belakang yang terbuka.
Untungnya, saat ini Jung Yuan dan Zhongguo masuk di awal semester,
sehingga kehadiran mereka tidak begitu mencolok. Jung Yuan dan Zhongguo pergi
ke bagian administrasi untuk mengurus kelengkapan kepindahan.
“Sayang sekali, kelas kita tidak ada yang sama!” sesal Zhongguo setelah
mendapat jadwal baru. “Aku jadi khawatir, Yuan-gege.”
Jung Yuan mengacak rambut adiknya, “Memangnya kamu pikir gege tidak
bisa menjaga diri sendiri? Jangan berlebihan.”
“Tapi...”
“Sshhh, tidak ada tapi-tapian,” Jung Yuan menggamit lengan Zhongguo
untuk pergi dari depan ruang administrasi itu. “Sekarang, kita pergi ke loker
baru kita.”
Namun, baru dua langkah kaki, terdengar seseorang memanggil-manggil
nama Zhongguo dari kejauhan. Mereka berdua lantas berbalik arah dan mendapati
seorang lelaki bertubuh tinggi besar sedang berlarian di sepanjang lorong. Ia
nyengir ketika sampai di hadapan kedua saudara tersebut.
“Zhongguo, masih ingat aku kan?” tanya si lelaki sok akrab.
Zhongguo mengingat-ingat lagi, “Oh... si itu ya?”
Si lelaki mengangguk-angguk riang, “Yep, ingat kan?”
“Enggak.”
Si lelaki langsung menampakkan muka sebal, Jung Yuan tersenyum menahan
tawa.
“Bercanda. Bagaimana kabarmu, Guan?”
Bukannya menjawab, mata Xiao Guan malah tertuju pada sosok cantik yang
sedari tadi tengah berdiri di samping Zhongguo. Cuci mata ceritanya.
“Oi! Tuli ya?!” Sekarang gantian Zhongguo yang sebal.
“Maaf maaf.” Mata Xiao Guan melirik lagi ke arah Jung Yuan. “Zhongguo,
yang di sebelahmu... siapa?”
“Bukan urusanmu. Pergi sana!!”
Xiao Guan mencelos, dan tanpa sungkan langsung memperkenalkan dirinya
sendiri pada Jung Yuan, tersenyum. “Xiao Guan. Teman Zhongguo sewaktu dia
tinggal di sini selama seminggu.”
“Jung Yuan. Kakak tersayangnya Zhongguo,” Jung Yuan mengeluarkan satu
tangannya untuk menerima uluran tangan Xiao Guan.
Zhongguo yang melihat perkenalan mereka berdua hanya bisa menghela
napas. Meskipun perilakunya menunjukkan seolah ia tidak terima, namun
sesungguhnya ia sangat lega karena setidaknya saat ini Jung Yuan telah mendapat
satu kenalan baru di sekolah. Sehingga kalau ada apa-apa dan kebetulan Zhongguo
tidak ada di sisinya, Jung Yuan bisa meminta tolong pada Xiao Guan yang
sama-sama senior. Toh, ia sudah mengenal Xiao Guan. Si idiot yang liburan tahun
lalu menjadi temannya di sini selama seminggu. Saat itu gegenya tidak ikut ke
sini karena ada masalah pada paru-parunya, makanya Xiao Guan hanya mengenali
Zhongguo. Tidak dengan Jung Yuan.
Xiao Guan mengangguk-angguk paham. Zhongguo yang menyadari tangan Xiao
Guan masih awet di genggaman Jung Yuan, menepisnya.
“Cari kesempatan saja!”
Lagi, Xiao Guan nyengir. “Habisnya, cantik sih. Boleh aku jadikan pacar
tidak?” kali ini Zhongguo benar-benar menempeleng kepala Xiao Guan. Sementara
Jung Yuan hanya tertawa kecil melihat perilaku keduanya.
Dan saat itu juga bagai ada angin misterius yang lewat, Jung Yuan
merasa seperti ada sepasang mata yang menatap tajam ke arahnya, membuat bulu
kuduknya merinding. Ia menoleh ke belakang, mengedarkan pandangan ke
sekelilingnya. Tapi tidak ada. Jung Yuan tidak menemukan siapapun yang sedang
menatap ke arahnya. Hanya ada suara riuh siswa-siswi yang mengobrol di
sepanjang lorong.
Lalu suara bel nyaring terdengar. Anak-anak yang tadinya bercanda ria
di sepanjang lorong, mulai ribut bubar menuju ke kelasnya masing-masing.
Begitupun dengan Jung Yuan, Zhongguo, dan Xiao Guan. Mereka berpisah karena
mendapat kelas yang berbeda-beda.
Ketika kaki Jung Yuan melangkah memasuki kelas pertamanya hari itu,
ternyata ia sudah terlambat lima menit. Ia tadi sempat kesusahan mencari kelas
Sejarah karena belum terbiasa dengan bangunan gedung sekolah ini. Guru Sheng
mempersilahkannya masuk dan langsung menyuruhnya duduk di bangku yang masih
kosong di baris paling belakang. Namun, belum sempat ia mengucapkan terima
kasih atas kebaikan Guru Sheng, tiba-tiba ada satu anak yang menyeletuk keras.
“Kenalan dulu dong! Kamu anak baru di sini, bukan?”
Jung Yuan kaget dengan celetukan bernada menggoda itu, matanya mengarah
pada Guru Sheng untuk minta tolong. Namun, guru Sejarahnya yang masih terlihat
muda itu hanya mengangguk, menyuruhnya untuk mengiyakan celetukan permintaan
anak tadi.
“Uhm... Perkenalkan, nama saya Jung Yuan. Han Jung Yuan.” Jung Yuan
kikuk memperkenalkan dirinya. “Senang bertemu dengan kalian.”
“Ngomong-ngomong, sudah punya pacar belum?” Si anak tadi menyeletuk
lagi.
Namun, untungnya kali ini Guru Sheng melempar tatapan mematikan pada
anak itu dan berkata, “Taiheng, berhenti menggodai orang lain!”
Jung Yuan sangat menghargai itu. Ia lantas mengangkat kaki menuju meja
paling belakang. Selama berjalan menuju meja barunya, Jung Yuan sangat risih
pada tatapan anak-anak sekelas. Seolah Jung Yuan adalah mangsa empuk bagi
mereka. Namun, yang membuat Jung Yuan paling merasa risih adalah, tatapan
familiar yang sebelum ini ia rasakan di koridor sekolah.
Ketika pantatnya telah terduduk di atas kursi, Jung Yuan mencari-cari
tatapan mata itu. Dan ia amat kaget karena ternyata orang di bangku
sebelahnyalah yang menatap Jung Yuan lamat-lamat. Agak ngeri sebenarnya. Sebab,
sungguh, orang itu menatap Jung Yuan seperti telah mengenal dirinya sejak lama.
Tiga puluh menit barangkali.
Lama, Jung Yuan menunggu agar tatapan mata itu berpaling ke arah lain.
Namun, makin lama bukannya doanya terkabul, tatapan mata orang itu malah makin
lekat tertuju padanya.
Jung Yuan penasaran ingin mengintip rupa orang yang ada di sebelahnya.
Namun, sepertinya itu adalah keputusan yang salah besar. Niat awal Jung Yuan
hanya ingin memandang sekilas. Tetapi ketika matanya bertemu dengan mata orang
tersebut, hatinya seolah-olah terkunci. Bahkan memalingkan muka pun rasanya
sungguh berat dan tak sanggup. Kini giliran Jung Yuan yang mengamati sosok di
depannya. Sungguh, seumur-umur Jung Yuan tidak pernah melihat wajah setampan
itu. Kulit pucat, bibir merah, dan terakhir matanya. Mata yang amat aneh, batin
Jung Yuan. Bukan aneh dalam artian buruk. Namun sebaliknya, mata itu sungguh
bening mengundang. Warna irisnya sangat jarang bagi sebagian besar warna mata
penduduk kota ini. Sekilas, Jung Yuan terkikik dalam hati kalau mungkin lelaki
di depannya ini memakai lensa kontak seperti kebanyakan wanita. Tetapi ide itu
buru-buru menguap dari kepalanya. Karena Jung Yuan yakin betul, bahwa itu
adalah warna asli matanya. Ia bisa membedakan mana orang yang memakai kontak
lens dan mana yang tidak.
Cukup lama mata mereka berdua terkunci satu sama lain, hingga tak
terasa bel pelajaran pertama telah berbunyi. Jung Yuan cepat-cepat memasukkan
bukunya ke dalam tas, lantas dengan agak terburu-buru mengangkat kaki dari
tempat itu. Ia tidak mau lagi dipandangi terus-terusan oleh si pemilik mata
emas. Risih sekali. Dan untungnya hari itu adalah hari pertama semester ini,
jadi Jung Yuan tidak perlu merasa bersalah karena Guru Sheng belum begitu
serius memberi pelajaran kali ini.
ζ
SETELAH insiden ‘tatapan mata’ itu, Jung Yuan sangat bersyukur sebab di
kelas berikutnya ia tidak sekelas dengan si mata emas. Malahan ia satu kelas
dengan Xiao Guan. Yang tentu saja dibalas dengan reaksi super senang dari si
pemilik tubuh tinggi. Jung Yuan agaknya terkejut dengan Xiao Guan. Meski
perilakunya terlihat sangat kekanakkan dengan cengiran yang tak pernah lepas
dari wajahnya, Xiao Guan ini ternyata jenius dalam Matematika. Padahal Guru Lee
baru saja memberi sedikit awalan pelajaran Matematika ketika Jung Yuan secara
tidak sengaja melihat buku Xiao Guan yang sudah mulai penuh dengan jawaban dari
soal yang ada di buku pegangan. Meski guru Matematikanya sendiri belum
menyuruh, tetapi rajin sekali dia mengisi soal-soal itu.
Dan di sinilah Jung Yuan sekarang. Di salah satu meja kantin bersama
lima orang lainnya. Selain Zhongguo dan Xiao Guan, Jung Yuan hanya mengenali
satu di antara tiga orang asing yang ikut bergabung di meja itu. Tentu saja
Jung Yuan sangat mengenali wajahnya, sebab dialah yang tadi pagi menggoda Jung
Yuan di kelas Sejarah. Taiheng. Dan ternyata lelaki itu adalah teman baik dari
Xiao Guan. Makanya ketika secara tak sengaja Taiheng melihat Jung Yuan yang
berjalan bersisihan dengan Xiao Guan, ia langsung ikut nimbrung dengan gayanya
yang sok keren dan akrab.
Sementara yang dua lagi sepertinya merupakan teman baru Zhongguo.
“Gege, ini MingHao,” Zhongguo menunjuk pada seorang lelaki berwajah
manis. Ia sopan menampakkan senyum perkenalan. “Dan si gendut ini namanya Shin
Qing.”
“Hei! Aku nggak gendut ya!” si lelaki satunya yang dibilang gendut
merajuk.
“Terus apa kalau bukan gendut?”
“Semok.” Dan seluruh penghuni meja itu tertawa mendengar pengakuan
terlalu-percaya-diri dari Shin Qing.
Namun, tawa Jung Yuan berhenti ketika ia merasakan tatapan itu lagi. Si
mata emas. Ia mengedarkan pandang ke sekeliling dan matanya terkunci pada
sekelompok lelaki di pojok kantin. Ada empat orang di sana.
Hatinya langsung terkagum melihat mereka. Terlalu sempurna. Keempat
sosok itu serupa porselain berukir yang dipahat oleh pematung paling terkemuka
di dunia. Tidak. Jung Yuan tidak berlebihan. Gambarannya sangat tepat. Satu
lelaki berambut cepak dengan rahang keras tengah melemparkan lelucon pada dua
orang yang terlihat seperti sepasang kekasih di depannya. Jung Yuan memandangi
sosok berambut coklat panjang yang bergelayut manja di rengkuhan lelaki
berambut cepak lainnya. Cantik. Sungguh, pada awalnya Jung Yuan mengira bahwa
ia adalah perempuan. Namun bukan. Saking cantiknya Jung Yuan bahkan berani
bertaruh bahwa banyak perempuan yang amat iri padanya.
Lalu mata Jung Yuan beralih ke sosok berambut hitam legam dan bermata
emas. Tidak seperti ketiga kawannya yang santai bercanda, lelaki itu malah
sibuk mematung meman-dangi Jung Yuan. Sesaat, Jung Yuan berpikir apakah ia
punya salah pada lelaki itu? Apakah ia pernah secara tidak sengaja
menyinggungnya entah di mana? Jung Yuan memang tipe orang yang pelupa, perlu
waktu yang cukup lama untuknya mengenali wajah dan nama orang. Jadi ia risih
sendiri ketika dipandangi seperti itu.
Lalu citra-citra bermunculan. Ingatannya seolah berlari ke masa yang
jauh sebelum ini. Satu citra kecil muncul dan berlalu dengan cepat—seorang
lelaki yang amat mirip dengan si pemilik mata emas membelai lembut wajah Jung
Yuan dan mengucapkan sesuatu—tapi Jung Yuan tidak tahu apa yang ia katakan
karena citra itu lenyap secepat kemunculannya. Kemudian nampak citra lain lagi
yang terasa lama dan seakan nyata. Sosok yang amat mirip dengan si mata emas
mengejarnya riang di pinggir danau di tengah hutan. Jung Yuan bisa merasakan
dedaunan kering di bawah kaki telanjangnya saat sosok itu berhasil menangkap
Jung Yuan, gejolak geli ia rasakan saat tangan kokoh itu menggelitiki bagian
perut Jung Yuan. Ia merasa bahagia sekali. Bahkan rasa rindu mulai menyengat kuat
di hati. Serupa nostalgia. Lalu suara tawanya terbawa angin. Dan citra itu
hilang.
“Namanya Quan Wei Feng.”
Huh?
Jung Yuan terkejut dengan suara baru yang tiba-tiba muncul di dekatnya,
bingung. “Namanya Quan Wei Feng. Dari tadi kamu memandanginya tanpa berkedip
sekalipun. Kukira kamu ingin berkenalan dengannya.”
Lelaki asing yang berbicara pada Jung Yuan itu menyeret kursi kosong
dari meja sebelah dan menempatkan pantatnya di samping Shin Qing. Wajahnya
campuran Asia Timur dan Kaukasian. Tampan sekali. Sejenak, Jung Yuan merasa
bahwa lelaki campuran ini sama seperti sekelompok patung porselain di pojok
kantin sana.
“Dan kalau kamu bertanya-tanya mengapa aku mirip dengan mereka,”
telunjuknya mengarah pada gerombolan si mata emas, seolah tahu apa yang ada di
pikiran Jung Yuan, “itu karena aku adalah adiknya Wei Feng.”
Jung Yuan kikuk sendiri dibuatnya. Ia malu karena tertangkap basah
memandang lama orang yang bernama Wei Feng itu. Tapi sungguh, Jung Yuan tidak
ada maksud apa-apa ketika matanya tertaut pada si mata emas. Malah seharusnya
ia yang heran, kenapa dari tadi pagi Wei Feng dengan beraninya menatap Jung
Yuan seolah ia punya hutang lima ratus triliun?
“Eh, tapi wajah kalian tidak mirip?” Itu yang Jung Yuan keluarkan
setelah membandingkan keduanya. Postur dan aura memang mirip, namun wajah sama
sekali berbeda.
“Saudara tiri.” Ia menjawab singkat. Jung Yuan hanya mengeluarkan kata
oh kecil dari mulutnya.
“Heh, Xiao Tian! Mau apa kau di sini?” Suara Shin Qing melengking
ketika menyadari ada makhluk lain yang telah duduk di sampingnya. “Pergi sana
jauh-jauh! Ini bukan tempatmu!”
“Woah, sepertinya enak nih?” Bukannya pergi, Xiao Tian malah mengambil
sepotong daging dari kotak makan milik Shin Qing. Terang saja kemarahan si Shin
Qing makin menjadi-jadi.
“Terkutuk kau makhluk nista!”
“Tenang sayang, tenang...” dipanggil sayang, untuk sedetik Jung Yuan
sempat melihat sekelumit warna merah muda di pipi Shin Qing. Ia ingin tertawa,
namun sopan menahan.
“Dan biarkan aku memperkenalkan diri untuk dua orang yang kulihat baru
di sini. Namaku Xiao Tian. Quan Xiao Tian.” Matanya mengarah ke Jung Yuan
lantas Zhongguo. Tersenyum.
“Kita sehati, ternyata kau senang ya menggodai Shin Qing?” Zhongguo
melirik sebentar ke arah Shin Qing, yang dibalas dengan tatapan judes menyalak.
“Oh ya, ngomong-ngomong namaku Zhongguo. Dan orang yang duduk di seberangmu itu
Jung Yuan, kakakku.”
Jung Yuan tersenyum, tidak mengeluarkan kata-kata lain. Sejujurnya ia
sangat ingin mengajukan berbagai macam pertanyaan pada Xiao Tian. Hatinya sudah
terlampau ber-gejolak dengan rasa penasaran yang amat mendesak. Kenapa Wei Feng
terus-terusan menatapnya? Dan kenapa pula ada kilasan yang tiba-tiba muncul di
kepalanya? Namun Jung Yuan menahan semua pertanyaan itu di dada. Apalagi ketika
ia secara jelas merasakan selubung tidak suka yang muncul dalam diri Xiao Guan
semenjak kehadiran Xiao Tian. Jung Yuan bisa merasakan tubuh lelaki tinggi
besar itu menegang dengan rahang yang mengeras. Cengiran yang sepagi ini ia
tumpahkan bahkan hilang tak berbekas. Seperti seekor singa yang wilayahnya
terancam akan direbut? Mungkin. Bahkan Jung Yuan sendiri merasa takut pada
reaksi tiba-tiba Xiao Guan itu.
Ah, nanti saja tanyanya, batin
Jung Yuan.
ζ
ZHONGGUO dan Jung Yuan sedang dalam perjalanan pulang dari sekolah.
Hujan lebat membungkus kota kecil itu. Gumpalan awan hitam seakan tidak bosan
tidak mau beranjak dari sana. Satu-dua tetes air mengenai kaca jendela truk
pick up Chevrolet keluaran tahun 1964 yang mereka kendarai. Udara terasa lembab
dan dingin. Sepanjang perjalanan, mereka berdua membicarakan kelakuan Shin Qing
di kantin tadi. Zhongguo beranggapan bahwa meskipun si gendut itu terus-terusan
merajuk ketika digodai oleh Xiao Tian, ia yakin bahwa sebenarnya Shin Qing
menaruh hati padanya. Dan Jung Yuan sepakat. Siapa pula yang tidak terpikat
oleh ketampanan seorang Xiao Tian?
Namun, ketika sampai di daerah yang sepi perumahan, perbincangan mereka
terhenti. Jung Yuan merasa ada seseorang yang mengikuti truk mereka. Dari kaca
spion, ia mengamati jalanan di belakang yang mulai berkabut. Di kejauhan, Jung
Yuan samar-samar melihat sepasang lampu sorot mobil yang menerobos lebatnya
hujan. Ia tidak tahu jenis dan warna apa mobil itu, sebab yang ia lihat
hanyalah terang sorot lampunya belaka. Terlalu berkabut kalau boleh dibilang.
Lima menit kemudian Jung Yuan merasa risih dengan kehadiran mobil itu.
Padahal Zhongguo menyetir dengan kecepatan yang amat lambat, seharusnya mobil
tersebut bisa menyalip mereka dengan mudahnya. Tapi tidak. Mobil itu justru
mengekor terus berada di belakang truk keduanya. Jung Yuan jadi merinding
sendiri.
“Zhongguo-er,” Jung Yuan memanggil nama adiknya lirih.
“Hmm?”
“Sepertinya dari tadi ada yang mengikuti kita.”
Sejenak, Zhongguo menoleh ke arah Jung Yuan yang wajahnya benar-benar
terlihat khawatir. Satu alis terangkat. Lalu, matanya mengarah pada spion.
“Ah, jangan menakut-nakuti, gege,” Zhongguo beru-saha santai dan
mengeluarkan tawa kecil. “Ini kan hujan, tidak mungkin kalau lebat-lebat begini
si pengendara mobil ceroboh melaju dengan cepat. Bisa bahaya nanti.”
Jung Yuan berpikir lagi, lalu mengangguk. “Ya, mungkin kamu benar. Aku
yang terlalu paranoid.”
Tetapi, sisa penasaran masih belum menguap ketika truk yang mereka
kendarai merapat di depan rumah. Sebelum masuk, Jung Yuan memutuskan untuk
menunggu kedatangan si mobil penguntit itu dulu dari beranda rumah. Lima detik.
Dan mobil itu tiba-tiba melaju sangat cepat melewati jalanan depan rumahnya.
Secepat kilat. Sekedipan mata.
Sungguh, pada sepersekian detik ketika mobil itu melaju melewati depan
rumahnya, Jung Yuan bersumpah bahwa ia sempat melihat sapasang mata menatap
dingin ke arahnya. Tanpa senyum, tanpa ekspresi. Mata itu begitu tajam dan
mengintimidasi.
“Woah! Lajunya cepat sekali!” Jung Yuan melencing kaget ketika adiknya
berteriak tepat di belakang telinga. Ternyata dari tadi Zhongguo juga menunggu
kedatangan si mobil penguntit.
“Dan itu Bugatti, Zhongguo. Bugatti.” Jung Yuan menyeloroh.
“Yah... tapi aku jauh lebih menyayangi seonggok mobil merah tua itu.”
Tertawa.