DI SEBERANG LAUT
Another summer. Another sunny place. But I really want to go home. To see your beautiful face. To see the real sunshine in your eyes.
WONWOO.
Hai, bagaimana kabarmu? Apa kau baik-baik saja?
Apa kau sudah makan?
Tahu tidak, di sini masih malam, tapi kurasa di sana
sudah pagi. Haha.
Aku merindukanmu.
Bip.
Aku mendesah, memandangi langit-langit kamar. Suara itu tak pernah bosan kudengarkan, selalu kuputar berulang-ulang. Itu pesan yang ia kirimkan tiga hari lalu. Jauh dari seberang lautan.
Aku
menggeliat. Sebenarnya aku sangat tidak menginginkan ini. Bekerja di negeri
orang, berpindah-pindah tempat. Sepanjang minggu selalu sibuk dan tak bisa
berkomunikasi dengan sang kekasih. Tapi keputusan sudah terlanjur dibuat. Saat
itu, aku dihadapkan pada dua pilihan, pergi menyenangkan orang tua atau tinggal
bersama cinta.
Tetapi
kini aku sadar, keputusan yang dulu kuambil ternyata malah berdampak pada
kegelisahan. Berakhir pada rasa rindu yang amat berat.
Ah, sudah
berapa lama kita berpisah, Hannie? Apa kau masih merindukanku? Seperti katamu
di rekaman itu? Aku juga merindukanmu. Di sini musim panas, cuacanya bagus
sekali. Tapi aku sedang malas keluar, capek, semalaman harus bergelut dengan
orang-orang itu. Menyelesaikan proyek besar yang dahulu selalu aku elu-elukan.
Lebih baik tiduran saja di kamar, berguling-guling, dan membayangkan masa lalu.
Benar, bukan?
Aku
mengingat-ingat kembali kebersamaan kami dulu.
Saat itu
permulaan musim dingin. Pertama kali melihat, aku tahu bahwa aku telah jatuh
cinta padanya.
Ia tengah
menyusuri jalanan sepanjang Karls Gate. Mengamati gerbang raksasa Munich, para
pelancong yang berseliweran, dan bangunan-bangunan tua Eropa yang berjejer
dempet. Rambut coklat sebahunya bersinar, sementara topi bundar yang ia kenakan
membikin wajahnya kelihatan manis sekali.
Aku
mendekat.
“Ternyata
ada juga ya orang yang menyukai pemandangan jelek ini,” kataku sedikit skeptis,
padahal itu hanya cara agar aku bisa berbicara dengan lelaki cantik ini.
Ia
mengalihkan pandang ke sosok yang tiba-tiba datang.
“Jelek
katamu?” mata si lelaki cantik memicing, tidak terima dengan perkataanku
barusan.
“Ya. Semua
orang di kota ini juga tahu kalau bangunan di sini jelek.” Aku mengamati sosok
cantiknya dari atas sampai bawah. “Kau pasti bukan orang sini.”
Ya,
wajahnya sama sepertiku. Wajah Asia Timur.
Dan aku
menebak kalau ia mungkin menggerutu dalam hati, tidak
sopan sekali berkata seperti itu. Bangunan bagus-bagus begini dibilang jelek!
“Berani-beraninya
kau bilang bangunan ini jelek!” ucapnya sinis, membenarkan tebakanku. “Apa kau
buta?”
Aku
tertawa. “Maaf-maaf, aku hanya bercanda.”
Lantas
saja si lelaki cantik langsung berdecak kesal merasa dibodohi. Namun, bagiku
wajah kesalnya itu tetap terlihat cantik. Makin manis malah. Membuatku gemas.
Dan entah
setan apa yang merasuk dalam diriku, tanpa malu apalagi ragu aku lantas
mengajaknya berbincang. Padahal sebelumnya aku tidak pernah seperti ini. Bahkan
orang bilang, aku ini serupa batu. Mukaku datar kata mereka. Tapi lucunya saat
itu aku justru merasa bahwa diriku adalah lelaki paling pemberani di dunia.
Kami membicarakan banyak hal, mulai dari bangunan di ujung sini sampai bangunan
di ujung sana. Tenggelam dalam cerita. Dia cerdas.
“Dari tadi
kita hanya bicara soal bangunan, siapa namamu?” tanyanya setelah entah berapa
lama kami berbincang.
“Dart
Vader.” Jawabku usil, yang langsung membuatnya menampakkan muka ngambek.
“Haha.
Baiklah baiklah, namaku Wonwoo, Jeon Wonwoo. Kalau kau?” kataku akhirnya.
“Harley
Quinn.” Ia menjawab singkat, membalas keusilanku tadi.
“Kau ini
manusia pendendam ya?”
Ia
menaikkan kedua bahunya. “Jangan salahkan aku. Kayaknya kamu deh yang perlu
bercermin.”
Dan untuk
kesekian kalinya aku tertawa lagi.
“Mau pergi
dari sini? Kita bisa makan di mana saja. Aku lapar.” Ajakku kemudian.
“Tapi kau
yang bayar ya?” pintanya dengan mata berbinar.
Aku yang
melihat binaran imut mata itu hanya bisa mengangguk, mustahil untuk menolak.
Toh, memang aku yang mengajak, bukan?
Pergi dari
kawasan Karls Gate, kami lantas berburu tempat makan yang kiranya bagus. Sambil
jalan, kami berbincang lagi dan lagi. Ia memperkenalkan dirinya sebagai
Jeonghan, baru seminggu tinggal di Jerman. Kami membicarakan hal random.
Tentang musik apa yang kami sukai, aktor film, sampai berujung pada hal-hal
absurd yang seharusnya tidak kami tanyakan pada pertemuan pertama. Dan aku
mengetahui bahwa ia ternyata memiliki banyak kesukaan yang sama sepertiku.
Hingga akhirnya aku menyadari bahwa sedari tadi kami hanya berputar-putar di
jalan tidak jelas, bingung mau ke mana.
Namun,
lima belas menit kemudian Jeonghan mendadak menunjuk pada sebuah restoran Asia
yang setengah ramai. Sejauh manapun kau pergi,
memang susah ya melupakan kampung halaman?
“Wow,
ternyata ada restoran Asia juga ya di sini?” katanya ketika telah memasuki
restoran.
Mendengar
itu aku langsung terbahak, bilang bahwa dia ini norak sekali jadi orang.
“Mentang-mentang
di Eropa, terus tidak ada restoran Asia, begitu?” Ledekku. Ia membalas dengan
manyunan bibir karena malu.
Seorang
pelayan datang, menyerahkan buku menu pada kami.
“Hei,
bagaimana kalau kita pesan ini?” tunjuk Jeonghan pada sebuah gambar mangkok
besar berisi ramen yang kuahnya sangat merah. “Lumayan nih kalau habis dalam
sepuluh menit kan gratis? Ya ya?”
Lagi-lagi
dia menampakkan binaran mata itu, membuatku setuju tanpa pikir dua kali.
“Lagipula,
ini kan Eropa. Sepedas-pedasnya masakan Asia, kalau buatnya di Eropa pasti
rasanya disesuaikan, benar bukan? Orang Eropa kan jarang ada yang menyukai
makanan pedas?” Lanjutnya setelah itu.
Tapi
salah. Dugaannya benar-benar salah. Si pemilik restoran ternyata tidak
segan-segan ketika menuliskan kata SUPER PEDAS di dalam buku menu. Sumpah,
kejam sekali dia. Sampai-sampai wajah kami ikutan memerah seperti cabai yang
mereka tuangkan pada kuah. Sementara peluh keringat juga ikutan meluruh dari
dahi kami karena kepedasan.
Pada
akhirnya aku dan Jeonghan sama-sama tidak bisa menyelesaikan ramen itu,
kemudian pulang dengan menertawakan kesombongan kami yang sok-sokan mampu
menghabiskan semuanya dalam waktu sepuluh menit. Namun sebelum benar-benar
pulang, kami sempat bertukar nomor handphone dahulu dan berjanji untuk bertemu
lagi lain waktu.
Dan
begitulah. Takdir memang sedang berbaik hati padaku.
Perjumpaan
kedua kami adalah di keramaian pada dua minggu setelahnya. Jarak yang cukup
lama memang. Namun sela rentangan waktu itu kami isi dengan hampir selalu
chattingan bersama, mengobrolkan entah tentang apa. Saat itu mendung, udara
sedikit mendingin.
“Boleh aku
merapat ke tubuhmu?” pintanya tiba-tiba.
Aku tentu
mengiyakan, senang bukan kepalang malah.
Kios-kios
souvenir terserak di sepanjang jalan, berderet-deret dari satu ujung ke ujung
lainnya. Berdempetan, seperti kami yang tengah berjalan saling merengkuh.
Mengusir dingin. Seperti sepasang kekasih.
“Aku
kangen rumah.” Suara Jeonghan memecah sunyi.
“Eh,
bukankah kau baru tiga minggu di sini?”
“Ya, tapi
aku kangen rumah.”
“Kenapa?
Bukannya kau sama-sama mendapat beasiswa sepertiku?”
“Memang.
Tapi begitulah, aku tidak betah di Munich. Bahkan tadinya aku berniat untuk
menolak mentah-mentah beasiswa ini.”
“Tidak
masuk akal.”
“Maksudmu?”
“Kau ini
cantik. Masih muda. Cerdas. Masa depan membentang cerah di hadapanmu. Hidupmu
sempurna, banyak orang yang pastinya sangat iri padamu. Banyak orang yang
pastinya menginginkan beasiswa itu. Kau dikepung dengan kesempurnaan. Bagaimana
mungkin kau berpikiran untuk menolak beasiswa itu?”
“Oh,
begitukah aku terlihat dari kejauhan? Kau terlalu berlebihan. Kau pikir dengan
melihatku yang katamu cantik, cerdas, dengan masa depan cerah, hidupku sempurna
begitu? Sayang, tebakanmu itu salah besar.”
“Oke. Maaf
kalau aku hanya menilaumu dari luar. Aku siap menjadi pendengar.”
Beberapa
pasangan muda berjalan melewati kami, bergurau riang menikmati kencan. Satu-dua
di antaranya malah ada yang telah menggendong anak. Begitu pula dengan para
orang tua, mereka tidak kalah mesranya. Saling bergandengan tangan. Kami
berjalan menuju sebuah kafe di sudut jalan yang tidak begitu ramai oleh para
pelancong.
Jeonghan
memulai ceritanya.
“Aku anak
tunggal, hanya tinggal bersama ayah dan ibu di rumah. Awalnya hidup kami memang
lancar-lancar saja. Seperti katamu, sempurna. Ayah yang seorang pekerja
kantoran tak pernah sekalipun telat pulang ke rumah, mengecup kening ibu yang
juga sama setianya menunggu di ambang pintu. Sementara aku berlaku menjadi anak
yang baik, patuh pada orang tua. Dan ya, aku memang selalu dielu-elukan oleh
banyak orang. Selalu mendapat nilai cemerlang tanpa perlu upaya berlebih.
Intinya, hidup kami sangatlah bersahaja.
Kami
seolah menjadi cerminan keluarga bahagia tanpa cela, hidup dalam kedamaian.
Para orangtua bahkan mulai membandingkan anak mereka denganku. Mereka bilang
bahwa aku ini mewakili apa yang disebut sebagai kepribadian ‘sempurna’.”
Jeonghan
berhenti sebentar, tertawa.
“Benar
kata orang-orang itu. Kami bertiga memang saling menyayangi dan mendukung.
Tidak pernah sekalipun ayah dan ibu memarahiku. Tiap minggu mereka selalu
menyempatkan diri untuk mengajakku berekreasi. Kadang ke taman hiburan, kebun
binatang, atau sekedar makan es krim di kedai dekat rumah. Yah, tempat-tempat
umum yang para keluarga sering kunjungi lah. Hidup terasa mudah hingga usiaku
menginjak tiga belas. Berawal dari kebangkrutan perusahaan di mana ayah
bekerja. Ia depresi, mulai menyalahkan aku dan ibu yang tidak bisa melakukan
apa-apa. Dan entah semenjak kapan, ayah jadi suka keluyuran tengah malam,
mabuk-mabukkan, dan berselingkuh. Hidup keluarga kami mendadak berubah jadi
seratus delapan puluh derajat.”
Suara riuh
rendah para turis makin berkurang, sementara langit ternyata sudah menggelap.
Kuamati wajah Jeonghan lekat-lekat. Ia tidak duduk di seberang meja, melainkan
di sebelahku. Ceritanya seolah tak berujung dan mulai kelabu.
“Ibuku
mulai bekerja setelah ayah jadi pengangguran. Bukan pekerjaan yang mewah, sebab
ijasahnya hanya sampai SMA. Ia menjadi babu di salah satu rumah megah sekitar
komplek rumah kami. Meski kelakuan ayah makin hari makin brengsek, tapi ibu
selalu saja sabar menghadapinya. Setiap ia membukakan pintu untuk ayah, ia akan
dicaci-maki, ditampar, bahkan ditendang karena dianggap tidak becus mencari
uang. Selalu begitu, setiap malam semenjak usiaku tiga belas.
Aku
sebenarnya marah pada kelakuan ayah. Namun, suara lembut ibu selalu saja
membuatku enggan untuk jadi murka. Dan...”
Ia
terdiam. Menunduk. Air mata lantas keluar begitu saja tanpa bisa ia bendung.
Suara sesenggukannya mulai terdengar. Dan aku yang melihatnya menangis langsung
merapatkan badan, menjatuhkan kepalanya ke dadaku. Untunglah kafe itu tidak
begitu ramai dan bersekat tinggi, menutupi tangisan Jeonghan dari mata
orang-orang.
“Aku
dijual. Dipaksa ayahku untuk melayani lelaki hidung belang. Tidak hanya sekali,
tapi beberapa kali. Dan ibuku sampai saat ini tidak pernah tahu soal itu. Aku
menyimpanya rapat-rapat. Bukan hanya karena aku tak mau melihatnya makin sedih,
namun ayah juga mengancam kalau sampai aku memberitahukan hal ini pada ibu, ia
bersumpah bahwa ia akan menyakiti ibu lebih kejam lagi. Aku hancur.”
Air mata
Jeonghan mengalir lebih deras, membasahi kaosku.
“Kehidupan
itu terus bergulir sampai beberapa bulan yang lalu. Ayahku dipenjara. Ia
dituduh menggelapkan uang milik temannya, sementara pada saat yang sama aku
memperoleh beasiswa penuh di negeri ini. Orang mungkin memandang bahwa
keberuntungan sedang ada di pihakku, tapi tidak. Menurutku, ini adalah dilema.
Simalakama yang membuat hatiku jadi sangat linglung. Menerima beasiswa tapi
harus meninggalkan ibu di rumah, atau tetap di Korea dengan masa depan yang
mungkin bakal berakhir sangat suram. Dan celakanya, aku memilih opsi yang
pertama.
Aku jahat sekali telah meninggalkan ibuku sendirian Wonwoo...”
Aku jahat sekali telah meninggalkan ibuku sendirian Wonwoo...”
Suara
sesenggukannya mengeras, pilu karena rindu berat pada sosok sang ibu. Dalam
pelukanku yang rapat, aku bisa merasakan badannya bergetar. Lalu semuanya
terjadi begitu saja. Aku mengajaknya pulang ke flatku, menghiburnya sedikit
dengan candaan yang sebenarnya sangat garing. Tapi justru kegaringan itulah
yang membuatnya tertawa kembali.
Dan pada
menit berikutnya, kami tersadar bahwa kami telah saling memeluk, menautkan
sepasang bibir ke bibir lainnya. Lantas terbangun dengan Jeonghan yang berada
di rengkuhanku.
JEONGHAN.
Esoknya,
setelah malam panjang itu, kami resmi menjadi sepasang kekasih. Aku
mencintainya dan ia juga mencintaiku. Aku bersyukur. Untuk pertama kalinya
dalam waktu yang sangat lama, akhirnya aku mampu untuk berbagi dan menangis.
Hari-hariku
di Jerman menjadi sangat berwarna dengan kehadiran Wonwoo. Meski orang bilang
ia serupa batu, namun sesungguhnya mereka salah besar. Ia bisa berubah sangat
humoris di satu waktu dan menampakkan muka kesal yang sangat lucu. Aku suka
ketika Wonwoo tersenyum. Aku suka hidung bangirnya. Aku suka segala hal
tentangnya.
Empat
tahun kami hidup di Jerman. Saling menguatkan satu sama lain. Bercanda kalau
memang waktunya. Namun sayang, tujuan hidup kami nyatanya berbeda. Aku belajar
di negeri orang untuk kembali ke rumah, memperbaiki ekonomi. Menyenangkan ibu.
Sedang ia belajar karena tuntutan keluarga. Melanjutkan kerja di negeri itu.
Sangat
berat bagiku ketika mengetahui bahwa ia ternyata tidak akan kembali ke Korea
untuk beberapa waktu ke depan. Tetapi aku sadar, aku tidak bisa seegois itu
padanya. Sama sepertiku, ia juga terpaksa melakukan itu demi kedua orangtuanya.
Dan malam
itu adalah perjumpaan terakhir kami. Malam sebelum aku packing dan kembali
pulang ke Korea. Perjumpaan tanda perpisahan. Kami lagi-lagi memilih berkencan
di keramaian. Aku merapat ke tubuhnya, dan ia tak sungkan untuk menautkan
jari-jemarinya padaku.
“Jadi, kau
benar-benar akan tinggal di sini?” kataku memecah kesunyian yang dari tadi kami
pertahankan.
Ini sulit.
Bagiku dan Wonwoo, bagi kami berdua yang empat tahun terakhir telah menjalin
hubungan.
“Kau tahu
itu...” jawabnya dengan nada tidak enak.
“Kau tidak
perlu merasa tidak enak padaku. Aku sangat memahami kondisimu. Demi orangtua,
mana mungkin aku berani menghalangi.”
“Kau
yakin? Bagaimana dengan hubungan kita?”
“Asal kita
saling percaya, waktu beberapa tahun pasti akan terasa sangat singkat. Aku
percaya padamu kok.”
“Aku jadi
terharu, kau ini memang kekasih yang terbaik.” Ia terkekeh.
“Haha.
Kalau begitu, ayo kita ke apartemenmu saja. Sebagai reward karena aku telah menjadi kekasihmu yang paling baik.”
Kataku dengan kerlingan nakal.
Dan Wonwoo
langsung menyetujui. Ia merengkuhku penuh kasih sepanjang jalan. Begitu baikkah
Tuhan pada kami malam ini?
Sesampainya
di flat, kami tidak langsung main lucut baju. Di luar, orang hiruk-pikuk lalu
lalang. Suara-suara celotehan dan kendaraan menerobos masuk melalui jendela
kamar yang sedikit terbuka. Begitu pula dengan suara dentuman keras musik dari
flat sebelah. Saking bersyukurnya tadi pada Tuhan, aku sampai lupa bahwa flat
Wonwoo ini sebenarnya tidak cocok untuk berduaan. Tetangga Wonwoo, si Nick yang
darahnya campuran antara Jerman dan Inggris, orangnya sangat menyebalkan. Ia
selalu menyetel musik keras-keras, tidak peduli dengan fakta bahwa sesungguhnya
ada orang lain yang tinggal di sebelah flatnya itu.
Samar-samar
aku mengenali lagu milik EFF yang pernah kudengar satu-dua kali, Stimme.
Wonwoo
yang dongkol, lantas saja tanpa pikir panjang keluar berniat untuk mendobrak
pintu flat Nick. Menyuruhnya untuk mematikan musik itu. Sementara aku hanya
bisa menguntit di belakangnya, bersiap-siap untuk menyaksikan Hitler versi 2.0
siap menyerang negara tetangga.
Namun,
bukannya langsung mendobrak pintu flat Nick, Wonwoo justru terdiam di sana.
Mulutnya ternganga tidak percaya. Sementara aku yang melihatnya mendadak
berhenti, bingung. Kemudian memutuskan untuk mengintip dari balik bahu Wonwoo.
Dan
seketika itu juga tawaku langsung meledak. Di sana, di pintu flat Nick
terpasang sebuah kertas bertuliskan sebuah peringatan. Dan kau tahu apa
peringatan itu? Begini bunyinya:
THERE IS NO LOCK
SO PLEASE KNOCK
OR YOU WILL SEE COCK
Detik
berikutnya kami langsung tersadar apa yang tengah terjadi di dalam. Di
sela-sela dentuman keras lagu EFF, terdengar suara desahan dan erangan yang
membuat kami bergidik geli ingin muntah. Bukannya bermaksud meledek, tapi lucu
saja ketika mendengar erangan di dalam flat bercampur dengan suara desahan, “Daddy, ah...aku ma-u ah... pi... pis...”
Dan demi
mengenali milik siapa suara itu, Wonwoo lantas ikut-ikutan tertawa sepertiku.
Asal kalian tahu, meski berwajah imut dengan mata hijau bundar mirip kurcaci,
Nick itu berandal. Saking berandalnya, bahkan orang-orang kampus―termasuk para
staf dan dosen―sampai memanggilnya Nickhead!
Gila!
Aku dan
Wonwoo tidak menyangka saja kalau ia ternyata bisa punya kink se-cheesy
itu, mengingat penampilannya yang mirip seorang gangster gagal.
Dan jujur,
lagu yang saat ini ia putar sama sekali tidak cocok menemani kegiatan
seksualnya. EFF mungkin bakal menangis kalau mereka sampai tahu mengenai hal
ini.
“Hei, ayo
kita kembali ke kamarmu. Biarkan mereka menikmati malam ini.” Ujarku sambil
menyapu air di pelupuk mata karena tertawa berlebihan.
“Oke, kali
ini aku maafkan dia.” Jawab Wonwoo masih setengah tertawa.
Sekembalinya
ke dalam flat, Wonwoo lantas langsung melumat bibirku dalam-dalam, mengisap
bagian leherku hingga meninggalkan jejak merah keunguan, dan mengangkat tubuhku
ke dalam kamar. Di sana, kami seolah meniru tetangga sebelah yang sama-sama
tengah asyik saling mencumbu. Mengeluarkan desahan dan erangan. Sementara rasa
sakit berpadu dengan kenikmatan.
Aku tak
pernah bisa melupakan malam penuh kenangan itu. Malam terakhir sebelum kami
benar-benar berpisah keesokan harinya. Ia mewujudkan mimpinya di negeri orang,
sementara aku mewujudkan mimpiku di Korea.
Dan ya,
aku sekarang telah berhasil menyenangkan ibu. Saat ini kami tengah bercocok
tanam di halaman belakang, ceritanya berusaha menyelamatkan bumi dari pemanasan
global.
Selama
kepergianku ke Jerman, tak pernah sekalipun aku lupa menghubungi ibu dan
menanyakan bagaimana kabarnya. Di setiap percakapan itu, beliau selalu
memantapkan hatiku bahwa keputusan yang kuambil sangatlah tepat. Meyakinkan
bahwa ia baik-baik saja di rumah, bilang kalau para tetangga selalu membantunya
di kala susah.
Sementara
disamping membicarakan tentang bagaimana proses belajar dan kultur di Jerman,
aku juga tak segan membicarakan Wonwoo. Bahkan sesekali aku riang menyuruh
kekasihku itu agar sudi mau berbicara dengan ibu. Dan tanpa kuduga, ternyata ia
adalah lelaki yang sangat penyayang, sopan, dan ramah. Ia tidak menolak,
bingung, ataupun canggung ketika berbincang dengan ibuku. Pembicaraan mereka
mengalir begitu saja.
“Hannie,
bisa kau membukakan pintu untuk Eomma, sayang? Sepertinya ada tamu di depan.”
Suara ibu membuyarkanku dari lamunan. Samar-samar aku mendengar suara bel depan
berbunyi.
“Baik,
Eomma.”
Aku
bangkit dari kegiatan bercocok tanam, mencuci tangan dengan air, lantas
berjalan ke arah pintu depan.
Sungguh,
ketika pintu itu terbuka, hatiku serasa ingin meloncat dari tempatnya. Sosok
yang tengah berdiri di ambang pintu itu serupa mimpi belaka. Senyumnya
mengembang layaknya mentari pagi yang baru muncul dari sela pegunungan, hangat
sekali. Sementara satu tangannya mengenggam sebuket mawar merah yang merekah
segar.
Dua puluh
detik. Tiga puluh detik.
“Tutup
mulutmu, nanti air liurmu jatuh loh.” Ia tertawa, lantas merentangkan kedua
tangannya lebar-lebar. “Dan apa kau tidak mau memeluk kekasih tercintamu ini?”
Aku yang
masih syok―namun dengan hati yang begitu senang, langsung jatuh ke dalam
pelukannya. Menangis terharu karena perasaan yang sangat bahagia. Ini
keajaiban.
Empat
tahun kami berpisah, ia di sini. Wonwoo benar-benar ada di sini.