BERAWAL DARI MATA
“Silahkan perkenalkan dirimu.” Guru Wang menyuruh.
Yang disuruh justru cuek tak memedulikan. Angkuh tak keruan.
Dia siswa baru. Lagaknya sombong, khas anak kota nakal yang sering
kalian lihat di drama-drama televisi. Rambut urakan. Seragam setengah keluar.
Dasi merosot. Tas kosong tiada buku. Sudah begitu, berani-beraninya pula
mengunyah permen karet.
Tapi takdir memanglah kejam, kawan. Tak peduli soal kelakuan,
senakal apapun dia, asalkan tampan, ya tetap jadi idola.
Seperti saat ini. Semua mata kelas Tata Boga―salah satu pelajaran
wajib selama setahun― takjim memandang ke arahnya. Satu-dua bahkan sampai ada
yang tak sadar kalau mulutnya dari tadi telah ternganga lebar. Terpesona.
Sebagian lagi ada yang berbisik-bisik dengan pipi bersemu merah. Tampan
katanya. Mirip model iklan di tivi. Sementara sisanya, sudah bersiap-siap
merekrut anak baru itu agar mau bergabung ke dalam geng nakalnya.
Guru Wang mendesah. Dalam hati, ia berani bertaruh, tabiat anak
baru ini pasti bakal membuatnya kepayahan selama setengah tahun ke depan.
“Namamu?” Guru Wang mengulang.
“Shi Xun.”
“Nama lengkap?”
“Shi Xun.” Siswa baru berambut legam itu menjawab pendek lagi.
Matanya datar memandang isi seluruh kelas. Tak tertarik.
Namanya tentu saja tak sependek ini. Terdiri dari dua kata.
Satunya berupa marga besar berasal dari keluarga terhormat. Tetapi Shi Xun
tidak sudi mengucapkan marga itu dari bibirnya. Jijik. Toh buat apa dia
menyebutkan nama panjang-panjang kalau akhirnya yang diperlukan hanya sependek
Shi Xun saja.
Terlebih lagi, sejak kecil, Shi Xun memang selalu menyendiri.
Jarang bermain dengan anak lain, tak pernah menangis, pun tak pernah
mengeluarkan banyak kata. Dan meski sesungguhnya orang-orang telah menyuruh Shi
Xun agar ia menampakkan wajah yang ‘lebih baik’, namun yang keluar justru
selalu seringaian miring terkesan judes. Ia selalu begini. Memilih menjadi
seorang yang bebal.
“Pindahan dari?”
“Ibukota.”
“SMA?”
“Entah...” Siswa yang menyebut dirinya sebagai Shi Xun mengedikkan
bahu tak acuh. Tanpa ekspresi.
Sungguh, Guru Wang rasanya ingin mengumpat keras-keras.
Menempelengnya sekalian bahkan. Dalam lima belas tahun karirnya sebagai guru,
lazim memang mendapati murid dengan tabiat bebal. Tapi siapa yang mengira kalau
hari ini dia bakal ‘beruntung’ menjumpai anak sebrengsek ini. Langsung
menampakkan perilaku aslinya pada hari pertama. Guru Wang menahan gelagak
amarah di dada, berusaha menenangkan diri.
“Baiklah... silahkan duduk di samping Yu Jinghua.” Menunjuk bangku
kosong dekat jendela di sebelah siswa berambut hitam setengkuk.
Shi Xun berjalan ke arah bangku yang dimaksud. Si siswa bernama Yu
Jinghua bergeser, mendekatkan diri ke dinding. Shi Xun duduk.
“Hei! Kau keren sekali, sobat!” Seorang siswa laki-laki di
depannya tiba-tiba memutar badan. Menyapa sok akrab.
Dan Shi Xun hanya menatap kosong, malas menjawab. Lanjut mengunyah
permen karet.
“Woah, aku suka sekali gayamu! Badass!
Perkenalkan, Cheng Xian.” Siswa bernama Cheng Xian mengulurkan tangan.
Tersenyum makin lebar ketika uluran tangan itu tidak dibalas.
“Nanti malam, datanglah ke rumah tua di ujung selatan kota ini.
Ada pesta di sana, mulai pukul delapan. Ini memang kota kecil sobat, tapi
percayalah, kehidupan di sini tidak semembosankan yang kau kira. Bukan begitu,
manis?” Cheng Xian tertawa, memandang Yu Jinghua, lalu mencolek dagunya genit.
Yang dicolek langsung menepis tangan itu, jengkel. “Jangan
brengsek!”
“Oh ayolah, jangan jual mahal seperti itu. Kau juga bisa ikut,
Jinghua. Hatiku selalu terbuka untukmu...”
“Yang benar saja. Kau bahkan baru melihat anak ini dan langsung
mengajaknya ke pesta alkohol murahanmu itu? Inilah kenapa aku selalu menolakmu,
Cheng Brengsek Xian. Menjijikkan.”
“Huh. Tidak asyik.” Cheng Xian memanyunkan bibir. Menatap Shi Xun
kembali. “Ngomong-omong, itu adalah markas rahasia kami. Kalau ada yang tanya
siapa yang mengundangmu ke pesta itu, jawab saja si ganteng Cheng Xian dan Lu
Tian.” Lanjutnya, sebelah tangan menepuk punggung teman sebangkunya yang tengah
bermain game di ponsel.
Menghiraukan Cheng Xian yang terus-terusan berceloteh, Guru Wang
memulai pelajaran Tata Boga. Beliau menyuruh anak-anak pindah ke ruang lain
yang mirip dengan dapur tetapi ukurannya jauh lebih besar. Lengkap dengan
peralatan memasak, tempat cuci piring, bahkan lemari es. Oh, dan asal kalian
tahu, Guru Wang sejujurnya bukanlah guru Tata Boga. Dia guru Olahraga. Namun
karena kebetulan pintar memasak dan memiliki usaha restoran, makanya beliau
sering dijadikan korban untuk menggantikan guru asli mata pelajaran Tata Boga.
Konyol memang, tetapi begitulah adanya. Beliau menjelaskan tata cara membuat
pancake sebelum memasangkan siswanya dua-dua. Dan Cheng Xian menggerutu pelan
ketika mendengar nama Yu Jinghua dipasangkan dengan Shi Xun.
“Hei, bisa tolong ikatkan ini?” Shi Xun menoleh, menemukan Yu
Jinghua yang tengah kesusahan berusaha mengikatkan tali celemek di belakang
pinggang.
Seharusnya Shi Xun biasa saja ketika ia mengikatkan tali celemek
itu. Tapi aneh, ia tiba-tiba merasakan wajahnya memanas dan bahunya kaku ketika
jari-jemarinya tak sengaja menyentuh pinggang Yu Jinghua. Sementara matanya
dengan brengsek memandang bentuk tubuh Yu Jinghua dari belakang.
“Terima kasih,” kata Yu Jinghua setelah memutar tubuhnya kembali,
tersenyum. Dan barangkali itu adalah senyum paling indah yang pernah Shi Xun
saksikan. Hingga membuat jantungnya berdebar seketika. Dan selama beberapa
saat, saking terpesonanya ia terhadap senyum itu, Shi Xun sampai lupa bagaimana
caranya untuk bernapas.
Manis.
Eh?
Tunggu dulu.
Apa yang barusan ia katakan?
Manis?
Tuhan, dia pasti sedang melamun tadi! Tak mungkinlah seorang
seperti Shi Xun memuji orang lain. Ia lekas membuang wajahnya. Kikuk.
“Mau kubantu juga?” kata Yu Jinghua lagi, menyodorkan satu celemek
lain.
“Yeah,” jawabnya singkat.
Shi Xun memakai celemek dan Yu Jinghua membantu mengikatkan
talinya ke belakang pinggang. Mereka mulai memecahkan telur. Ketika Shi Xun
terlalu keras memecahkan telur dan menumpahkan isinya kemana-mana, Yu Jinghua
tertawa. Dan sungguh, tawa itu membuat jantung Shi Xun berkejaran lagi. Lebih
cepat. Lebih keras. Hingga rasa-rasanya debaran jantung itu dapat terdengar
sampai radius tiga kilometer.
Tenang, batinnya. Dasar
jantung brengsek!
Meski Shi Xun tidak pernah membuat pancake sebelumnya, tetapi Yu
Jinghua dengan sabar menuntun pemuda berwajah dingin itu. Menunjukkan dia
bagaimana cara mengaduk adonan sambil sesekali mengobrol soal kota kecil ini.
Tak susah bagi Shi Xun untuk masuk ke dalam perbincangan dengan Yu Jinghua.
Anak itu ramah dan baik. Tidak bertanya macam-macam, seperti alasan mengapa ia
pindah ke sini, mengapa ia bersikap serampangan, dan lain sebagainya.
Si lelaki cantik ternyata juga punya kepribadian yang amat
bertolak belakang dengan Shi Xun. Ia selalu tersenyum, tertawa, dan banyak
bicara. Ia yang mendominasi perbincangan antara keduanya meski respon Shi Xun
hanya sepatah dua-patah kata. Namun, walau responnya pasif, sekali-dua Shi Xun
tentu mengajukan pertanyaan kepada Yu Jinghua. Tentang hobi, tempat-tempat yang
suka ia kunjungi, apa yang ia pelajari, hingga kelihaiannya dalam menari
tradisional―yang mana itu kedengaran erotik di telinga Shi Xun.
“Aku bisa menunjukkannya padamu loh,” kata Yu Jinghua menggoda.
Kemudian terkekeh geli ketika mendapati wajah Shi Xun yang memerah karena
godaan itu.
Semesta, mengapa jantung Shi Xun jadi terus-terusan berdebar
seperti ini? Demi Tuhan, tadi itu hanya kekehan kecil!
Diam brengsek!
Diam!
Ughh...
Inginnya sih begitu, tapi... sumpah, jantung gilanya sama sekali
tak mau diam. Malah makin cepat debarannya. Sialan!
Namun gerutuan hati Shi Xun lekas menghilang ketika Yu Jinghua
tiba-tiba menggumamkan sebuah lagu. Dan kau tahu itu lagu apa? Itu adalah lagu
kesukaan Shi Xun semenjak tiga tahun terakhir. Lagu yang sering ia dengar dari
radio dan tetap ia sukai hingga sekarang. Di telinganya, lagu itu terdengar
begitu romantis dan menenangkan hati.
Itu lagu yang abadi di dalam benak Shi Xun. Kapan pun ia
menyanyikannya sekarang, ingatannya akan selalu surut ke suatu sore saat ia
masih di ibukota dan menyanyikan lagu itu di atap rumah. Sendiri, sambil
memandangi gumpal-gumpal awan. Dan kini, ketika Yu Jinghua menyenandungkan lagu
itu, semuanya terasa begitu jernih di otak Shi Xun―ia menikmati sore di atap
rumah, ia terlentang memandang langit, dan ia yang tenggelam dalam romansa lagu
yang syahdu.
Shi Xun memandangi wajah Yu Jinghua. Sepuluh menit tanpa berkedip
barangkali.
Dan ketika Shi Xun melihat ada sedikit adonan pancake yang
menempel di pipi Yu Jinghua, otak warasnya tiba-tiba terbang entah kemana lagi.
Tanpa sadar ia menggerakkan satu tangannya dan mengusap adonan itu dari pipi Yu
Jinghua. Baru sadar setelah tangannya turun kembali.
Dan...
Bingo!
Shi Xun seketika kikuk (lagi).
Namun kekikukan itu terbayar ketika ekor matanya tak sengaja
menangkap semu merah di pipi Yu Jinghua. Dan itu membuat otaknya kembali tak
waras.
Aduh... manis sekali. Begitu
batinnya.
“Hiks! Aku dan Xian Xian kalah cepat oleh anak baru!” Lu Tian yang
tak sengaja menangkap adegan itu di meja sebelah, berseru pura-pura menangis.
Sukses membuat Shi Xun dan Yu Jinghua makin kikuk.
“Maaf,” gumam Shi Xun.
“Tak apa.” Yu Jinghua tersenyum, berusaha menghilangkan
kecanggungan di antara keduanya. “Seharusnya aku yang berterima kasih.”
Dan begitulah. Meski rasa gugup dan canggung belum sepenuhnya
sirna, tapi Shi Xun dan Yu Jinghua pada akhirnya mampu menyelesaikan tugas hari
itu. Mereka membuat lima pancake yang sempurna. Yu Jinghua menuangkan banyak
sirup mapel di atas pancake, menusukkan garpu pada salah satunya, kemudian
menyodorkan pancake itu pada Shi Xun. Mencoba menyuapi.
Tentu saja si lelaki berwajah dingin bingung oleh aksi itu. Ia
menggeleng pelan tapi Yu Jinghua berkata, “Makan saja, tidak kuracun,
tenang...”
Maka, dengan agak ragu, Shi Xun membuka mulutnya lebar-lebar, lalu
menyantap seluruhnya. Terdengar sebuah siulan menggoda ketika untuk kedua
kalinya, Shi Xun melahap pancake yang disodorkan oleh Yu Jinghua kembali.
“Aw! Sebentar lagi bakal ada drama baru yang tayang di televisi,
teman-teman! Judulnya, Suapi Aku Yayang
Jinghua... ha ha ha...” Itu suara Guan Xie, si badut kelas yang memang
suka bergurau. Senang rupanya dia menggodai Yu Jinghua dan Shi Xun.
Sontak, seluruh kelas memutar kepala mereka. Satu-dua ikut-ikutan
menggoda.
“Cie... yang jatuh cinta pada pandang pertama...!!! Hahaha....”
“Woah, aku terhura...!”
“Kejuuu...!”
“Stroberi...!”
“Shortcake...!”
“Kamera!? Kamera mana kamera!”
Jepret!
Terkikik anak-anak itu menggoda. Yang kemudian hanya dibalas
dengan tawa renyah Yu Jinghua dan pelototan mata dari Cheng Xian yang cemburu.
Lucu sekali.
“Abaikan mereka,” kata Yu Jinghua. Lalu Shi Xun menyadari bahwa
tiga pancake telah habis dilahapnya sementara Yu Jinghua dari tadi sama sekali
belum merasakan satu pun. Insting pertama Shi Xun tentu saja langsung mengambil
garpu yang ada di genggaman Yu Jinghua kemudian balik menyuapinya.
“Tapi aku tidak lapar,” eluh si lelaki manis.
“Kau tega membuat perutku meledak?” Dan kalimat itu sukses membuat
Yu Jinghua patuh dan mau memakan pancake yang disodorkan oleh Shi Xun.
Setelah seluruh pancake kandas, keduanya lalu mencuci piring dan
kembali ke ruang kelas semula. Shi Xun merasa, hari pertamanya di sekolah baru
ini benar-benar terasa berbeda.
Barangkali itu karena Yu Jinghua.
Barangkali.
Ya, barangkali.
Lihat saja nanti. Ha!
Saat bel akhir sekolah berbunyi, Shi Xun lekas berdiri dari
bangkunya berniat untuk kabur dan langsung pulang. Tidak baik bagi jantungnya
kalau dia terus-terusan berada di dekat Yu Jinghua. Bisa mati mendadak dia.
Seribu sayang, sebelum satu langkah kaki terbuat, pergelangan tangan kirinya
dicengkeram oleh Yu Jinghua duluan.
Shi Xun memutar tubuh.
Dan seketika, mereka saling bertatapan. Menyerah pada keheningan.
Mata hitam Yu Jinghua terlihat begitu bening dan jernih sedekat ini. Apalagi
ditambah dengan cahaya mentari sore yang menerobos melalui jendela, menjadikan
wajahnya kelihatan makin indah.
Shi Xun menaikkan satu alisnya. “Hmm?”
Seperti tersadar, Yu Jinghua terlihat salah tingkah dan lekas
melepaskan genggamannya dari Shi Xun, tertawa canggung. “Um... aku hanya mau
bilang, kuharap kau tidak mengiyakan undangan Cheng Xian...”
Entah mengapa, kalimat itu terdengar seperti permohonan paling
tulus di telinga Shi Xun. Yah... pemuda itu memang berotak bebal, tapi dia
tidak sebebal itu. Dalam kamusnya, mabuk itu bukan gayanya. Separah-parahnya
Shi Xun, paling banter hanya merokok. Tidak lebih.
“Sepertinya tidak,” jawabnya.
Mendengar itu, senyum Yu Jinghua seketika mengembang. Tidak
canggung lagi, jauh lebih tulus kali ini. “Kalau begitu, mau kupandu
berkeliling kota kecil ini?”
Sedetik.
Dua detik.
Mata Shi Xun membulat.
“Eh?”